Jika napas ini habis • 42

3.8K 184 14
                                    

Recommended song : ST12 - Saat terakhir

"Dimana ada sebuah pertemuan, pasti ada akhir sebuah perpisahan. Dan cara terbaik untuk merelakan adalah mengikhlaskannya."

—Jika napas ini habis—

     Kelas begitu riuh, tapi hanya beberapa saat—sebelum seorang Guru wanita masuk dan menyuruh mereka untuk diam. Setelahnya mereka terdiam, Guru itu tak langsung bicara—melainkan malah melepas letak kaca matanya dan mengusap matanya yang sedikit berarir.

    Seisi kelas tak paham, ada apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat Guru itu menitihkan air mata. Karena jika di perhatikan, wali kelas mereka begitu garang, bahkan jarang sekali terlihat bersedih di hadapan Anak didiknya.

     Lama terdiam, sang Guru pun lekas memaki kembali kacamatanya dan kepalanya pun lekas mendongak—menatap seluruh siswa-siswinya sendu.

     "Anak-anak, hari ini ada kabar sedih yang datang dari salah satu teman kita." Guru itu langsung berbicara serupa, membuat seisi kelas was-was dengan detak jantung yang berpacu cepat.

     Kabar buruk apa? Siapa?

     "Semalam, tepat pukul setengah dua belas Malam..." ujarnya, menggantungkan perkataannya.

     Terlihat bagaimana susah payah Guru wanita ini menelan salivanya dalam-dalam. Wajahnya yang sembab pun semakin tampak.

     "Telah berpulangnya salah satu kerabat kita, teman kita, siswa di sekolah kita," tukasnya yang sekali lagi menarik napas. "Mahen Guinandra, untuk selama-lamanya."

     Semuanya tercengang, begitu pula Kintan yang sedari tadi menyimak Guru itu. Dunia Kintan seakan hancur, tubuhnya terasa lemas seketika. Langsung berdiri dan menatap Guru itu tak percaya.

     "Ibu bercanda, kan? Kemarin sore kita baru jenguk dia dan keadaannya sehat, BU!" sentak Kintan secara tak sengaja. "DIA UDAH SEMBUH, BU!"

     "Kintan...

     "Ini kabar dari pihak keluarganya langsung, dan pemakaman di adakan hari ini juga, Nak."

     "Ikhlaskan kepergiannya, ya? Jangan buat dia semakin sedih."

     "Ngak... GUA GAK PERCAYA!"

     Kepala Kintan menggeleng, air matanya jatuh. Ia lekas berlari keluar kelas secepat mungkin. Ini pasti mimpi, Mahen tidak akan pergi. Tak mengindahkan teriakan beberapa temannya, Kintan terus berlari dan berlari..

     "Mari kita doakan almarhum bersama-sama."

     Mereka pun tak urung ikut mendoakan, meski banyak juga yang menitihkan air mata. Siapa sangka, jika ajal begitu cepat tanpa memandang yang tua ataupun yang muda.

•••

     Awan menggumpal sedikit gelap, angin bertiup lamban—mengiringi beberapa orang berpakaian serba hitam, menemani persinggahan terakhir Mahen. Semua berduka, isak tangis saling bersahutan—meninggalkan luka yang teramat dalam.

     Gundukan dari tanah liat itu sudah sepenuhnya rata, batu nisan berdiri kokoh di depan sana. Setelahnya beberapa kelopak bunga mawar saling bertaburan memenuhi makam.

     Alya senantiasa tak kuat menerima kenyataan yang kini sedang terjadi. Kenyataan yang sama sekali tak pernah ia harapkan. Kini, salah satu penyemangat hidupnya sudah pergi darinya untuk selama-lamanya.

     "Mahen kenapa tinggalin Mama, Nak?" Alya terus terisak di dalam dekapan Jo. Tangannya yang bergetar mengusap pusara Mahen penuh sayang.

     "Anak kita sudah bahagia di atas sana, kita ikhlaskan Mahen pergi," tukas Jo menenangkan sang istri.

Jika Napas Ini Habis [END] ✔Where stories live. Discover now