RINTIK 32: Kelompok Penunggang Kuda 2

240 22 11
                                    

Bab ini lanjutan yang kemarin sebenarnya.

Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan jejak. :)

_____

Azka menekuri buku-buku pemberian Wira seolah nasibnya bergantung pada benda itu

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Azka menekuri buku-buku pemberian Wira seolah nasibnya bergantung pada benda itu. Sikap emosionalnya lenyap, gerakannya gelisah, dan tak ada respons saat diajak bicara. Milly khawatir, tapi Wira justru menganggap kawan keras kepalanya itu sedang mempertimbangkan proyek yang ia tawarkan. Ada banyak teka-teki di kepala orang seperti Azka. Wira tak mengerti. Kesimpulan tak bisa ditarik sesederhana itu.

Kekhawatiran Milly terbukti tiga puluh menit kemudian. Azka terbangun begitu mendengar ketukan pintu. Langsung menyambar kunci di tangan Ammar dan memelesat ke apartemennya seperti orang kesetanan. Milly mengejarnya, mendapati pintu apartemen lelaki itu terkuak lebar, tapi hanya berdiri canggung di ambang pintu. Apa sebaiknya ia menunggu sampai Azka keluar? Bukankah itu lebih sopan? Tidak. Ini mungkin satu-satunya kesempatan. Ia teringat ucapan Wira tentang hasil jepretan Azka dan keterangan Dokter Nakamura via telepon: Azka kehilangan kekasih dalam sebuah kecelakaan, mengidap gangguan stres pascatrauma dan gejala depresi.

Mengabaikan Wira dan Ammar yang penasaran, Milly akhirnya masuk dan menutup pintu. Berhati-hati melepas sepatu. Bulu romanya meremang ketika memijak karpet depan. Rasanya seperti memasuki sebuah bungker dan kehadirannya telah merampok pasokan udara yang tersedia. Dinding sekitarnya menimbulkan perasaan hampa mirip berada di rumah sakit saat tengah malam.

Meski serupa apartemen Wira, langit-langit di sini seakan lebih rendah dan lorong pendek penghubung ke ruang tengah terlihat sempit karena kiri kanannya dijejali ratusan payung—dari yang bergagang panjang hingga pendek, yang masih bagus maupun koyak, warna cerah sampai hitam. Ditata dalam beberapa guci, lebih banyak yang menumpuk di lantai. Belum pernah Milly bertemu orang dengan koleksi payung sebanyak ini. Ia maju beberapa langkah. Ternyata ada koleksi mantel kedap air juga, digantung serampangan dalam sebuah lemari tanpa pintu, sebagian besar lembap, berbau, dan robek.

Ruang tengah seakan baru diterjang tsunami. Ada setumpuk piring dengan sisa makanan menjamur; pakaian tersampir di mana-mana; buku-buku, majalah, lembaran polaroid berserakan seperti sampah; gelas plastik dan karton makanan siap saji tercecer di lantainya yang ketika diinjak terasa berminyak. Di depan televisi berdebu, sofa-sofa melenceng tak tentu arah; meja kaca penuh cup mi instan, botol-botol anggur kosong, dan bantalan duduk gepeng bernoda bumbu masakan yang sepertinya dijadikan lap.

Udaranya berbau amis. Milly memalingkan wajah dan terbatuk. Berusaha menggapai udara yang lebih segar dengan mengibaskan tangan. Berniat melangkah ke satu-satunya pintu selain dapur yang sudah pasti kamar Azka, tapi langsung tertegun begitu melihat dinding luas di samping pintu tersebut. Untuk semenit yang terasa panjang, ia lupa cara mengatupkan mulut. Aroma menyengat susu basi menyadarkannya. Setengah linglung ia mendekati dinding itu. Meraba foto-foto berukuran 4R yang ditempel di permukaannya. Mungkin wajah-wajah ini yang menghabiskan stok udara. Muncul gelitik aneh di perut yang mendorong tawanya pecah, begitu geli hingga air matanya merebak. Tak ada yang lucu. Ia baru lega setelah kehabisan napas. Ratusan wajah di dinding itu melempar senyum lewat sorot datar mata mereka. Sekali lagi bulu roma Milly meremang. Terdengar suara benda jatuh. Secara impulsif, Milly menarik lepas beberapa foto dan menyembunyikannya di saku celana.

Azka keluar dari kamar sedetik kemudian, terengah-engah, tapi anehnya, untuk pertama kali mata teduh yang sebetulnya menarik itu tampak bertekad. Di tangannya tergenggam novel terbaru Ilana yang sebelumnya tak Milly sadari dibawa lelaki itu, juga sejilid kertas yang sudah lusuh.

Menit yang lalu, Milly melihat ratusan wajah hampa di dinding itu sebagai perwujudan diri Azka: putus asa, kosong, berat—seolah dunia menimpakan seluruh beban ke pundaknya. Saat ini, lelaki di hadapannya sama sekali berbeda. Ada sesuatu yang menyala di mata itu.

"Kamu kenal Rengganis Lusiana?"

Milly menggeragap, terbangun dari perenungan panjang, keningnya berkerut. "Hem ... ya. Saya dan Ilana sahabatan sejak kecil. Di Indonesia kami tetanggaan."

"Saya bisa ketemu dia kalau pulang ke Indonesia?"

Milly berusaha membaca wajah Azka. Ada kesan genting di sana. "Tentu ... ya, Ilana tinggal di Bandung."

"Antar saya ketemu dia."

Milly melirik novel Ilana di tangan Azka. Bertanya sangsi, "Tunggu. Ini karena kamu baca novel Ilana itu? Kamu nggak lagi nipu saya, kan? Kamu betulan mau ke Indonesia?"

"Kapan kita berangkat?" []

Manuskrip HujanWo Geschichten leben. Entdecke jetzt