RINTIK 22: Palasari dan Pigura Keluarga (2)

209 38 12
                                    

Cita-cita Bryant adalah jadi apa pun selain jadi orangtua seperti mama dan papanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cita-cita Bryant adalah jadi apa pun selain jadi orangtua seperti mama dan papanya. Memperbaiki hidupnya sendiri saja sudah merepotkan. Tak perlu anak-anaknya nanti ikut memunguti kepingan diri yang tercecer akibat perang nuklir orangtuanya atau mati kering di lantai rumah yang senyap. Bryant mengalami neraka yang kedua.

Setiap kali menginjak kaki pulang, ia bertanya-tanya, dari mana harus memulai agar segalanya membaik? Semua jawaban terasa salah. Keberadaannya pun terasa salah. Hingga akhirnya ia memilih melupakan bahwa dirinya ada. Pelan-pelan melilitkan diri dalam kehidupan glamor ajaran sang mama sebab terlalu membosankan jika mengikuti kompas papanya yang sering keluar-masuk rumah sakit.

Di keluarganya, mama dan papa tak pernah saling menyalahkan atas keadaan masing-masing. Mama menerima papa yang banyak uang tapi sakit-sakitan. Dan papa menerima mama dengan kehidupan keartisannya yang penuh intrik, termasuk pula menerima ketika di belakangnya mama sering main serong dengan laki-laki lain. Papa menyadari kekurangannya, tak pernah marah sekalipun pada mama biarpun sebenarnya Bryant tahu orang-orang suruhan papa melapor bahwa mama sering bermalam bersama kekasih gelapnya di hotel-hotel bintang kakap ibu kota maupun luar kota.

Papa cukup puas asal mama tak meninggalkannya. Sementara mama ikhlas menerima kekurangan suaminya asal kebebasan tetap di tangan. Mereka tersenyum satu sama lain di depan, lalu mengambinghitamkan diri sendiri di belakang. Papa kambing hitam yang bodoh, mama kambing hitam tak tahu diri, sedang Bryant anak kambing yang mereka biarkan tersesat.

Siapa peduli pada anak kambing tersesat yang menggenggam segepok uang? Tak ada pada si anak kambing. Tapi semua orang akan berlomba mendapat segepok uang di tangannya. Bryant tahu betul bagaimana memanfaatkan kuasa uang demi membeli hiburan-apa pun: manusia, kendaraan, bangunan-ia bahkan tak pernah repot mengingat apa-apa yang ia beli lima menit lalu. Nyatanya, penghamburan uang yang ia lakukan tak mengubah apa pun, tak mengurangi secuil pun kemarahan. Papa dan mamanya masih begitu. Keluarganya masih memupuk lahar panas di bawah lantai kehidupan mereka.

Pada akhirnya, Bryant tak bisa bersabar lagi. Lahar itu harus dimuntahkan. Papa harus meluapkan emosi yang sejak lama dipendam dan mama harus menghentikan penghiatan busuknya. Niat tak akan berbuah tanpa tindakan nyata, kan? Maka, dengan segenap kesadaran hati, Bryant menunjukkan pada papanya seperti apa penghianatan itu. Papa yang selama ini menutup mata harus dipaksa membeliak agar sadar.

Saat itulah Bryant membeli jasa Mirina. Untuk dibawa pulang ke hadapan papanya. Untuk melakukan pertunjukkan nyata sebuah perselingkuhan. Dari ambang pintu kamar Bryant yang dibiarkan terbuka, papa menyaksikan langsung betapa menjijikan apa yang selama ini ditoleransinya dari mama.
Kemarahan dan aksi gila Bryant dibayar lunas nyawa sang papa.

Mobil melintas hotel Horison. Bryant mengoper mata dari malam Bandung ke kakeknya di kursi samping kemudi. Wajah papa jelas tergambar di paras sang kakek: mata tersenyumnya, gerak-geriknya yang sabar dan tenang, tawanya yang lepas. Ah, tapi papa tak pernah tertawa selepas kakek. Pria tua itu berceloteh riang bersama Ilana yang terus-terusan memajukan duduk hingga posisinya kini di antara dua jok depan. Papa juga tak pernah bicara segamblang kakek.

Manuskrip HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang