RINTIK 19: Gadis Gaun Merah

207 38 2
                                    

BRYANT tak pernah merasa harus sekreatif ini hanya untuk mendekati seorang gadis. Ditambah kemungkinan gagal sama atau bahkan lebih besar dari peluang menang. Taruhannya harga diri. Uang bukan masalah. Ia selalu suka tantangan. Dengan satu syarat, ia yang memegang kartu as. Sedangkan untuk urusan Ilana, Bryant jelas tahu dirinya bidak dalam papan catur dan gadis itu pengatur strategi yang menentukan tiap langkahnya.

Bryant tak hilang akal. Ia ingin memanfaatkan peluang dari Milly dengan baik. Rencana mulai disusun. Pertama, ia membuat janji temu dengan pemilik Heaven; sengaja datang sebelum jam empat sore; tiga puluh menit kemudian, kesepakatan kerjasama katering berhasil ia kantongi. Kedua, ia mendatangi cabang restoran ayahnya yang paling dekat dari rumah; berhubung sementara dirinya belum dua puluh satu tahun usaha dipegang sahabat dekat ayahnya di Jakarta, keinginan Bryant terlibat langsung di dapur dipersulit; ia menelepon pengacara keluarganya, untunglah urusan beres.

Dua langkah itu saja sudah terlalu banyak dan repot. Tapi Bryant senang. Bukan karena ingin menampilkan tampang di depan Ilana, melainkan karena untuk pertama kali diperbolehkan terjun langsung ke dapur bersama koki-koki kelas satu restorannya sendiri. Ia baru ingat lagi tentang tujuan awalnya ketika pesanan hampir beres. Meminta kurir yang bertugas untuk segera mengantar pesanan itu agar sampai tepat waktu; lalu ia sendiri ingin segera pulang. Langkah selanjutnya, ia bakal datang ke Heaven dan mengaku wakil dari restorannya sendiri, meminta tanggapan atas pesanan pertama itu, serta basa-basi untuk kebaikan restorannya. Bryant membayangkan pujian yang akan diterimanya atau paling tidak wajah kagum Ilana. Ia ingin memastikan sendiri, sebenarnya image-nya di depan Ilana seperti apa.

Setelah pamit pada chef-nya, ia melangkah tegas meninggalkan dapur, melenggang manis menapaki restoran ber-view pemandangan danau di senja yang hampir raib; menyapa beberapa pengunjung yang tengah menikmati makan. Suasana hatinya begitu baik; dan tanggapan pengunjung lebih melambungkan hatinya. Namun, kesenangan itu langsung pupus begitu matanya menangkap siluet seorang gadis muda bergaun merah yang menempati salah satu meja di ujung balkon restoran.

Detik itu, jika ada yang bisa ditukar untuk melenyapkan seseorang, Bryant rela berkorban apa pun. Ia membatu di balik dinding kaca yang menyekat selasar balkon tempat gadis itu tampak ceria mendentingkan gelas bersama seorang pria paruh baya. Tak perlu keajaiban untuk melenyapkan orang, Bryant harusnya lekas enyah jika tak ingin tertangkap iris menggoda si gadis gaun merah. Sulit, kakinya tak bisa diajak kerja sama. Sampai kemudian yang ditakutkannya terjadi. Gadis itu melihatnya, menghentikan gerakan makan dengan anggun, dan … menyunggingkan senyum. Ia memisahkan sunggingan senyum karena gerakan itu seolah menyiratkan lain: akhirnya aku menemukanmu.

Piano di panggung restoran mendentingkan My Memory, terdengar mengejek di situasi ini. Tapi layak dianugerahi ucapan terima kasih. Bryant jadi sadar. Secepat debaran jantungnya, ia melangkah meninggalkan restoran; sadar ketukan heels mengekor di belakang, ia langsung menyambar kurir yang tadi ia tugaskan ke bilik toilet. Rahangnya mengeras oleh takut yang berubah tekad. Tanpa kata, ia menukar pakaiannya dengan seragam si kurir, merebut kunci motor, lalu berkendara berputar-putar--ke mana pun asalkan tak langsung ke tujuan. Ia takut diikuti.

Satu jam. Telapak tangannya di balik sarung tangan terasa lengket berkeringat. Rasa aman menyelundup pelan-pelan, memperlambat laju motornya hingga sepenuhnya terhenti. Bryant memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak, tertawa di tengah keriuhan lalu-lintas. Makin keras hingga bahunya berguncang dan kehabisan napas. Motor-mobil melaju lancar, tak ada yang mempedulikannya.

Bryant melepas helm, menghapus titik-titik keringat di kening dengan lengan jaket. Tersadar baru saja melarikan diri. Sekarang ia merasa malu. Terutama pada dirinya yang dulu pernah membiarkan gadis bergaun merah tadi menyambangi hidupnya, menoreh luka. Berbekas selamanya. Terukir dengan coreng bertuliskan: kebodohan. Ia ingin membatalkan aksi. Percuma menemui Ilana dengan suasana hati kacau. Ia tak minta dihibur. Tapi ponselnya berdering, menampilkan nomor si kurir yang tadi ia ambil tugasnya. Tanpa menangkat panggilan, Bryant mengenakan kembali helm dan melajukan motor menuju Heaven.

Manuskrip HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang