RINTIK 3: Brosur Kusut

395 68 8
                                    

Visual : Rengganis Lusiana (Ilana)

Visual : Rengganis Lusiana (Ilana)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senin, 23 November

SMA Tirta Kencana dikepung sorak-sorai. Turnamen basket tahunan bakal berlangsung tiga puluh menit lagi. Gedung olahraga tumpah-ruah penuh warna—ada yang berseragam olahraga, putih abu-abu, seragam basket dan cheers dari banyak sekolah lengkap dengan supporter yang beratribut macam-macam. Tak tanggung berisiknya. Tim tuan rumah tengah bersiap di bahu lapangan, tim lawan di bahu satunya, tim cheers masing-masing sekolah mendampingi.

Renata melambai dari selasar tribune ke arah Ilana yang baru selesai pemanasan. Gadis itu melihatnya dan segera memisahkan diri dari klub cheers, berlari sambil memamerkan senyum yang secara otomatis menyedot banyak pasang mata. Seragam cheers Tirta Kencana gadis itu bernomor nol satu, terbordir dengan warna perak di dada kanan, setelannya perpaduan antara putih dan merah gelap. Rambut bergelombangnya yang tersapu cat cokelat dikuncir ekor kuda. Tampak bersinar.

Renata menyodorkan sekaleng minuman rasa apel ketika sahabatnya itu tiba.

Thanks, Ren,” Ilana langsung duduk di samping Renata, meneguk minumannya banyak-banyak. “Kok kamu sendirian? Milly mana?”

“Katanya sih ada bimbingan di perpus buat persiapan tes beasiswa,” Renata mengangkat bahu, “dia repot banget belakangan ini.”

Ilana mengangguk samar. “Ya udah lah biarin. Kita doain aja biar dia lolos. Supaya  nggak ada lagi tumpukan soal di antara kita.”

Renata tertawa. “Jangan harap dulu, Na. Bentar lagi kita ujian, Milly pasti mabokin kita soal dari jauh-jauh hari.”

“Bener juga tuh,” Ilana mengembuskan napas tapi buru-buru menggeleng acuh, meletakkan kaleng minumannya yang belum habis ke kursi tribune, lantas berdiri sembari merapikan lipatan roknya. “Yah, itu urusan nanti deh. Yang penting sekarang aku mau fokus ke tanding dulu.”

Renata ikut berdiri, menunjuk dengan pandang ke rekan-rekan tim cheers Ilana. “Ya udah, Na, mending balik ke lapangan. Mereka ngeliatin ke sini terus tuh.”

Ilana membalas timnya dengan lambaian singkat, beralih pada Renata dengan kening berkerut. “Tapi Ren, kamu nontonnya jangan di sini ya, pasti dempet-dempetan banget. Agak ke belakang aja.”

“Iya, aku pindah,” Renata menenangkan dengan senyum, “kamu balik lagi aja ke lapangan, ditungguin tuh!”

“Sip deh, jangan lupa tepuk tangan ya, Ren!” Ilana berlari pergi.

Renata mengibarkan tangan, termangu saat punggung sahabatnya terhalang tubuh-tubuh tinggi tim basket yang berlarian memasuki lapangan. Cara terlihat cantik adalah dengan tak merasa cantik, hampir begitu untuk semua kata sifat. Tampaknya Ilana paham betul prinsip itu—entah sadar atau tidak—figurnya tergambar demikian menawan. Seolah dunia hanya berputar di sekitarnya saja. Gadis itu memiliki segala yang Renata ingini: kemampuan menulis di samping kegemaran membaca, keceriaan yang menular, kepercayaan diri, juga kebebasan.

Manuskrip HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang