RINTIK 27: The Land of Sunshine 1

202 22 9
                                    

Rabu, 25 Januari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rabu, 25 Januari

WIRA lulus dari School of Visual Arts pada 2008. Pulang sebentar, kembali ke New York dan berguru pada seorang maestro yang pernah jadi dosen tamu di kampusnya. Sambil berperan sebagai murid sekaligus penumpang rumah yang baik, ia menjajal jadi fotografer berita harian lokal. Gairahnya bukan foto jurnalistik. Namun, sang maestro menyarankannya memulai dari konsumsi harian penikmat berita. Jurnalistik melatih kepekaan sudut pandang. Kejaran tenggat dan beban harian menajamkan kecepatan serta kemahiran mengatasi berbagai situasi. Langkah ini bagus untuk latihan awal.

New York makhluk tanpa tidur. Arus informasi berlimpah mendukung hasrat bersaing dan mendongkrak produktivitas. Semua berjalan lancar di tahun pertama. Wira menikmati pekerjaannya dan tak ambil pusing meski sering ditinggal bepergian sang maestro. Memasuki tahun kedua, derasnya penugasan mulai membuatnya penat. Ia rindu rasa lapar seorang seniman. Keterbatasan waktu menjadikannya terlalu mengandalkan titik aman, formula pasti dan memperparah sikap kurang sabarnya. Lapar menebal seiring waktu. Mengapa ia memotret? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Uang, kesibukan, kesenangan, kebebasan? Keempatnya! Tempatnya ini hanya menyediakan uang dan kesibukan. Ia ingin uang yang banyak, sangat sibuk, benar-benar senang dan bisa puas merancang proyek-proyek yang menghidupkan gairahnya. Ia ingin keluar dan mengubah dunia. Ia tak seharusnya di sini lebih lama.

Sang maestro terbahak saat Wira mengutarakan keluhannya. Gurunya bilang, selama ini dia memang menunggu Wira menemukan ketidaknyamanan itu. Hanya masalah waktu. Pria setengah baya itu bercerita, murid-murid terdahulunya banyak yang sepenuhnya terjun ke jurnalistik setelah latihan awal ini. Ada yang kembali setelah tiga, lima bahkan sepuluh tahun. Lebih banyak yang batal bekerja independen. Dia terkejut Wira datang padanya begitu cepat. Dari sini, berbekal ketangkasan yang dipelajarinya dari harian lokal, Wira menjalani dua tahun melelahkan tapi menyenangkan jadi pesuruh sekaligus murid sang maestro. Mengekor ke berbagai belahan dunia, belajar memperlambat diri, menyerap semua pengetahuan dengan praktek langsung dan mulai merencanakan proyek pribadi jangka panjang. Wira melanjutkan pendidikan di Yale School of Fine Art sebelum memulai karir sebagai fotografer profesional. Awalnya ia berkecimpung di genre portrait. Tapi juga meluaskan pengalaman dengan mengambil proyek apa saja yang datang tanpa batasan genre. Banyak menghabiskan waktu untuk proyek pribadi. Terkadang mengerjakan pesanan dari orang tertentu dengan syarat bayarannya cocok menebus kebebasan yang tersita. Kariernya meledak setelah memenangkan kontes fotografi bergengsi.

Dalam bekerja, Wira mengandalkan peran gelombang otak alpha, theta dan beta. Kinerja ketiganya prima berkat meditasi--warisan utama yang diturunkan sang maestro padanya. Ia menyikapi calon klien ditemani gelombang beta: kesadaran penuh, mematok angka fantastis berikut jaminan: karya sempurna dalam waktu singkat. Dan, ia tak pernah main-main. Kesepakatan berarti meditasi di penthouse ditemani musik pemicu kreativitas; duduk santai menikmati segelas anggur, membiarkan tubuhnya rileks, memanggil si alpha bekerja membangun ide-ide cemerlang; kadang ia berbaring memandang malam Manhattan dari selapis atap transparan apartemennya, satu-dua bintang memancing kantuk, lalu theta aktif, memberinya gambaran ide lewat mimpi. Jika ketiganya mogok, ia memasang pedometer lalu berlari mengelilingi Central Park. Sebenarnya ia lebih suka pusat kebugaran. Namun, proyek kali ini memaksanya menyongsong satu putaran Central Park dengan hasil: bertolak ke Jepang, selatan prefektur Okayama membelah Januari yang beku. Tepatnya ke distrik Kojima, kota Kurashiki.

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now