RINTIK 28: The Land of Sunshine 2

196 23 15
                                    

TOKO Matsuda lenyap dari pandangan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TOKO Matsuda lenyap dari pandangan. Jika menyusuri jalan ini, hanya lurus ke depan, flatnya sebentar lagi kelihatan. Menjulang bagai rumah hantu biru pucat. Bukannya bangunan tua itu mati tenggelam. Catnya betulan biru; pucat karena flat itu kehilangan kontras dengan alam sekitar. Senantiasa tampak mendung. Padahal puncaknya jarang dihinggapi awan hujan. Namun kali ini, Adit jauh-jauh terbang dari Phuket bukan rindu pada flat dekat pantai itu. Ia belok kiri dengan langkah kilat. Seolah kehabisan waktu, perlahan derap kakinya makin cepat. Wilayah ini mirip labirin di Maze Runner. Hanya tak ada hewan buas mengintai. Yang terlihat cuma gang demi gang, toko demi toko, orang demi orang, rumah-rumah dengan tiang berukir di berandanya, atap-atap rendah menjorok teduh seperti payung dan satu-dua mobil boks berlogo pasar ikan.

Adit melangkah rapat di bahu jalan. Memandang ke depan walau sebenarnya tak sadar berapa kali belok kanan-kiri atau gang-gang rumit mana yang perlu ditempuh. Kakinya lebih hapal tujuan. Rutenya bakal lebih dekat jika ia mengambil arah sebaliknya. Tapi ia benci menyeberang dan lebih suka jalan memutar. Sampai kemudian, seseorang menabraknya. Atau ... dia yang menabrak orang itu? Ia malas berpikir mana yang tepat. Pilih membungkuk sambil menggumam maaf. Lekas menyingkir selangkah ke samping dan bersiap melanjutkan jalan. Tapi telinganya diterjang lengking tangis. Ia tergeragap. Heran mendapati Takuya duduk di aspal sambil terisak. Semula ia mengira anak itu mengikutinya. Namun, otaknya menyadarkan. Anak itu yang barusan ia tabrak.

Dehaman berat membuat Adit menoleh. Sambil menggulung sesuatu yang mirip benang, seorang pria kurus tinggi bermata segaris melemparkan tatapan masam padanya. Pria itu berdiri di sepetak ruang sesak kain, benang, dan benda-benda sejenis itu. Tak terpengaruh tatapan si pria, Adit tertarik pada pantulan dirinya di cermin oval berornamen ukir yang tergantung bagai malaikat penjaga di sisi kanan si pria penggulung benang. Bukan kesan klasik cermin itu yang membuatnya memaku mata di sana. Ia menangkap bayangan matanya sendiri, berharap melihat cahaya di sana; tak ada. Lantas menurun pada lekuk hidungnya yang tampak pucat dan berminyak; naik ke lajur-lajur hitam rambut yang mirip helaian rumput laut kering; jatuh ke kemeja biru pudar yang mengintip serampangan dari balik mantel kelabu yang beberapa kancingnya hilang. Pikiran tentang kancing mengantarnya mengalihkan pandang ke nama toko yang terpahat di dinding muka: Toko Alat Jahit Ikeda. Adit sering bolak-balik jalan ini, tapi tak pernah tahu ada toko bernama Ikeda. Ah, kalau diingat-ingat, bukankah tadi nenek Matsuda sempat memberitahunya?

Pulih dari lamunan, Adit segera membopong Takuya yang masih meraung-raung. Tak seperti di toko nenek Matsuda, kini anak itu memakai setelan kotak-kotak kuning berlogo Taman Kanak-Kanak. Terdengar derap langkah kecil dari tangga pendek di rumah samping toko Ikeda; Ryu muncul--juga sudah mengenakan seragam--warnanya biru gelap--tampak bingung melihat adiknya menangis.

Adit membopong Takuya masuk ke toko diekori Ryu. Pria penggulung benang langsung meletakkan kesibukannya, menerima tanpa bicara ketika Adit mengulurkan Takuya; dengan alis bertaut meneliti apa ada luka pada kulit si anak; tak menemukannya lantas tersenyum sopan pada Adit.

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now