RINTIK 25: Paramour

268 41 15
                                    

Sabtu, 14 Januari

TERKADANG, ada pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik diajukan ke google daripada manusia. Riwayat jelajah internet Ilana dalam sebulan terakhir memuat kata-kata kunci: hidup yang sempurna, alasan tidak bahagia, kekhawatiran menjelang pernikahan, persiapan melarikan diri, cara terbaik mengundurkan waktu pernikahan, harga tiket ke Jepang, cara ampuh melupakan seseorang. Yang terbaru, pagi tadi ia mengetik di ponsel pintarnya: seseorang yang bisa mendengarkan ceritamu. Muncul sederet entri. Tak semua relevan. Segudang tips ia lewati. Mayoritas intinya sama, hanya dikemas berbeda. Pencariannya berlabuh pada unggahan seseorang di blog pribadi, judulnya: Tong Sampah yang Menelan Ceritamu. Judul provokatif itu mendramatisasi pengalaman si pemilik blog yang pernah mengikuti acara bincang-bincang di sebuah radio.

Ilana tak membaca keseluruhan entri. Cuma tertarik pada testimoni: mirip konsultasi psikolog. Tanpa banyak pikir, ia catat nomor saluran radio, waktu tayang, berikut sosial media tempat mendaftar acara bincang-bincangnya. Kesimpulannya, mungkin ia sudah gila. Sebelum itu, catat ini: ia tak pernah benar-benar mengenal kata psikolog sebelum bertemu tunangannya. Lelaki itu sering menyebut-nyebut kata psikolog di tahun-tahun awal mereka pacaran. Walau tak pernah betulan membuat janji dengan ahli jiwa mana pun. Lagi pula, lelaki itu terlalu lepas untuk bisa lebih tertekan. Dan lagi, Ilana selalu ada untuknya; mendengarkan, menghibur, mengalihkan. Yang terakhir paling ampuh. Semacam berbelok dari luka ke cinta. Terkadang, kita memang butuh orang lain untuk mengingatkan apabila tanpa sadar kita belok ke arah yang salah. Tunangannya jenis lelaki yang menikahi pekerjaan lebih dulu sebelum melamar pacarnya. Jadi tak perlu usaha besar. Luka sepenuhnya tersalur lewat ambisi pekerjaan.

Seharian ini Ilana menantikan jarum jam meluncur ke setengah tujuh. Hujan membungkus kota sekitar pukul enam. Langit berangsur gelap. Sejenak, ia merenungi rintiknya dari balik jendela. Beranjak menyambar jaket dan ponsel, lalu melangkah ke luar ruang kerja. Rak-rak penuh buku menyambut. Ia berpapasan beberapa pengunjung ketika melangkah ke meja kasir. Mematikan gramofon yang mengalunkan lagu-lagu klasik lalu menukarnya dengan siaran radio pada nomor saluran yang tepat. Acaranya belum mulai. Sambil mendengarkan Sam Smith bernyanyi, ia menyusuri labirin rak hingga tiba di ujung toko. Duduk di lantai belakang rak, di hadapan selapis kaca setinggi dinding seluas sisi depan ruangan, mengamati hujan sambil berpikir apa saja. Tak butuh kertas dan pena. Ia sering bergulat dengan dua benda itu dan tahu, mereka tak patut meretas hubungannya bersama hujan. Lalu lintas depan Heaven mengisi pandangan. Mobil-mobil melajur, motor dan manusia berpayung menyelip tiap ada celah. Barisan kios makanan di seberang dipenuhi orang-orang berpakaian setengah basah.

Tepat setengah tujuh jingle acara yang dinantinya berkumandang dalam iringan gitar akustik: time to love, see how much I love you, tell me, kill the story and say goodbye. Ilana mengangguk mengikuti debar musik ketika kutipan novel The Magic Library Jostein Gaarder selintas mengisi benaknya: pengarang adalah orang yang egosentris, senang dipuji. Di antara tirai air yang makin rapat, Agatha Christie ikut mampir, mengatakan: "Absent in The Spring, satu-satunya buku yang memuaskan saya. Saya menyelesaikannya dalam tiga hari. Buku itu ditulis dengan penuh integritas dan ketulusan, sesuai dengan yang saya inginkan. Itulah kegembiraan dan kebanggaan terbesar bagi seorang penulis."

Mungkin seperti Christie, Ilana punya hal istimewa yang hanya miliknya sendiri. Entah karena Gaarder benar, atau memang ia pandai melipat waktu hingga lima belas tahun terasa seperti setahun saja. Ia bisa mati digorok pisau dapur kalau ketahuan mencuri alamat surel Azka dan rutin mengirim sapaan pada sepupu tunangannya itu. Oke, tunangannya tak seburuk itu. Maksudnya, Bryant tak mungkin melakukan hal demikian. Hanya saja, bagi Ilana, Azka dan Bryant ada di dimensi berbeda: khayalan dan kenyataan. Tapi kemudian ia menyangsikan apa dirinya punya batas antara dua hal itu. Rasanya seperti diam-diam berkhianat dan tak rela melepas salah satunya.

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now