RINTIK 6: Cerita Langit Tentang Api dan Hujan

333 51 14
                                    

Sabtu, 28 November


BAGI tiap orang, ada saat di mana kenangan yang lama tersimpan rapi dalam pojok ingatan mendadak meniti jalannya, membawa si pemilik kembali pada alur yang sama, perasaan serupa-terlepas keberadaannya diinginkan atau tidak. Untuk Ilana, saat seperti itu hadir ketika tiap inderanya menangkap getar muram dari langit.

Sore itu, awan gendut siap memuntahkan isi perutnya ke bumi. Tak berfraksi. Semuanya berarak ke satu pusat membentuk semacam tudung kelabu. Aroma tanah menguar diterbangkan angin. Sepoi dingin bercampur debu menuntun jalannya menuju satu tempat di mana api menyisakan bekas berupa dinding gosong yang tak sembuh dimakan usia.

Gerimis menyadarkan Ilana bahwa dirinya masih menapak pada pedal sepeda. Bergerak dengan kayuhan mantap sebab seluruh inderanya tahu ke mana harus menuju. Ia terbiasa menakar waktu hujan. Maka, mudah baginya tahu seberapa lama lagi gerimis menemani hingga guyuran deras menggantikan.

Hujan pada hari off di Heaven adalah kado terindah bagi Ilana. Itu artinya ia akan pergi mengayuh sepeda ke tempat tujuan sama seperti yang kini ia lakukan, bukan hanya memandang hujan sambil merindukan tempat tujuannya kini.

Sepeda pink-nya memelesat cepat meninggalkan kompleks perumahannya. Lurus melewati jalan beraspal satu arah, menyeberang jalan di antara lahan pendek pinus, berpapasan dengan gerbang hitam SD-nya dulu yang sore itu sudah sepi, hingga kemudian roda sepedanya meluncur pada tanah merah lurus antara padang ilalang tak terawat.

Ilana menurunkan standar sepedanya dekat pohon mangga antara pancang dua besi karatan yang dulunya ia ingat memang merupakan lahan parkir. Tanpa ragu melangkah menuju bangunan gosong tak beratap berbentuk stadion mungil di mana pada pusat bangunan, lapangan basket tak terawat berdiri. Lapangan tersebut masih layak disebut lapangan basket karena ring pada masing-masing sisi lapangan masih tegak kendati keadaannya menggambarkan gelora api yang pernah menghanguskan segala di sekitarnya.

Gerimis jadi satu-satunya teman Ilana berjalan menyusuri deretan kayu yang tujuh tahun lalu adalah tribune yang mampu menampung tiga ratus penghuni SD-nya, kemudian turun ke lantai lapangan yang sudah retak di sana-sini, ditumbuhi banyak rumput di celah retakannya. Keseluruhan bangunan itu tak lagi tampak seperti lapangan basket indoor bagus kebanggan SD-nya. Tak ada atap dan dinding utuh menggambarkan bahwa tempat ini dulunya ruangan tertutup. Ruang ganti dengan deretan loker luas penuh tawa dan sorak anak-anak kini ditumbuhi ilalang setinggi pinggang-tempat favorit binatang pengerat.
Ilana menyisir lapangan dengan langkah pelan, mengamati satu-satu apa yang muncul di depannya, usaha mengingat lari riangnya saat kanak-kanak dulu. Langkahnya tertambat di tong besar karatan yang terguling di sisi lapangan. Tangkas kakinya menendang ke dalam satu lubang. Bola basket berwarna oranye terang berguling dari lubang sisi lain tong. Dipungutnya bola itu. Seperti seorang pemain profesional, mulailah langkah-langkah ringannya mengitari lapangan dengan bola basket di tangan. Permainan solo di lapangan yang tak pernah lagi disinggahi siapapun. Gerimis dengan pasti berubah deras. Ilana tak mencari tempat berteduh. Justru makin giat melempar bola ke ring yang tiangnya bergoyang tiap kali disentuh bola.

Di tempat ini, ia senantiasa menunggu seseorang yang berulang kali Milly tekankan padanya, tak akan pernah kembali atau sekadar mengingatnya. Tujuh tahun. Waktu berlalu cepat tapi tak pernah menghapus rasa bersalah. Milly tak pernah mengerti. Karenanya, Ilana memilih tak banyak bicara jika sahabatnya itu mulai menceramahi. Satu-satunya hal yang dapat menghibur Ilana adalah datang ke lapangan ini, seorang diri, saat hujan. Tempat ini meyakinkannya, bahwa apa yang ia tunggu nyata, bukan hanya kekosongan.

Manuskrip HujanΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα