RINTIK 21: Palasari dan Pigura Keluarga (1)

152 31 5
                                    

KATA dokter, tak ada yang salah dengan tubuh Bryant

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

KATA dokter, tak ada yang salah dengan tubuh Bryant. Cuma lelah biasa. Ia dipersilakan pulang jika sudah kuat jalan. Paramedis hanya berpesan agar dia istirahat kemudian lenyap dalam kesibukan UGD yang tak pernah tidur. Agak berlebihan dirinya berakhir di ranjang sempit ini. Bukan tempat yang tepat. Lantas, tempat mana yang tepat? Mungkin yang keliru di sini otak atau emosinya. Kalau begitu, ia akan dapat rangkulan jika datang ke ahli psikologi. Pikiran yang hebat sekali. Setelah dirangkul penuh simpati, ia bakal duduk dalam sebuah sesi konseling dan diminta menunjukkan luka atau bekasnya. Agak lucu, benarkah luka akan jadi bekas seiring berjalannya waktu? Namun, ia berencana tutup mulut, tak mau repot mengisi kuesioner atau menulis jika diminta. Bisakah psikolog yang menanganinya membaca pikiran meski dia membisu? Jika bisa, setelahnya ia akan sering berkunjung. Jika psikolog-nya wanita, mungkin ia bakal jatuh cinta. Ia selalu ingin pulang ke seseorang yang bisa membaca pikiran.

Sayang, Bryant belum pernah menemukan orang dengan kemampuan ajaib begitu. Tak ada yang memahami, bukan keadaannya-tapi kemarahannya. Amarah itu tergodok sempurna dalam hati dan muncul dalam titik-titik keringat yang terus menyembul dari pori kulit keningnya. Menggigilkan, membuat tulang-tulangnya terasa rontok. Hampir seluruh rambutnya basah. Cemas penyebabnya. Tenaganya terkuras. Selekat apa pun matanya terkatup, senyum Mirina selalu muncul, lalu wajah papanya, berganti punggung mamanya, berakhir denting seloki-seloki perak dan wajahnya sendiri yang terbahak gaduh. Episode itu terus melekat seperti penyakit yang senantiasa mengusik meski tak diinginkan.

Sebuah drama bermain di latar belakang: tangis melengking, bunyi roda brankar yang didorong terburu-buru, langkah-langkah gegas paramedis diikuti repetan intruksi pertolongan pertama. Oh, betapa Bryant benci drama yang satu ini. Ia membuka mata, mengerang lirih, mengumpulkan tenaga untuk duduk dan menyibak tirai yang mengelilinginya. Menyipit kesal pada pendatang baru yang diocehkan seorang rekan dokter sebagai korban kecelakaan. Perhatian Bryant teralih ketika seorang gadis berseragam putih-abu berjalan ke biliknya dengan tampang resah.

Ilana menggenggam ponsel yang ia ulang-alik seolah benda tersebut selentur lilin mainan. Senyum rikuh tanpa sungkan gadis itu beri, lalu duduk di ujung ranjang dekat kaki Bryant. "Ada kecelakaan. Serem deh."

Pengakuan itu diikuti hening janggal. Bryant teringat yang mungkin jadi pemicu redup di mata gadis itu. "Inget temen lo yang belum lama meninggal, ya?"

Ilana menoleh kikuk. Entah sejak kapan matanya basah. Gadis itu tersenyum tipis, menunduk, bergumam seolah pada diri sendiri, "Hal kayak gitu kan emang nggak gampang dilupain." Mengangkat pandang sehabis mengusap mata. "Aku udah telfon ke rumah kamu. Katanya nanti ada yang jemput ke sini."

Bryant menutup tirai, membiarkan sehasta terbuka, lalu berbaring lagi. "Siapa yang angkat telfonnya?"

"Ibu-ibu yang manggil kamu Den Bryant."

Pembantunya.

Ekspresi Ilana datar. "Kalo mama kamu yang jemput, aku minta bayaran."

Bryant tak jadi mengatupkan mata, menoleh pada Ilana yang kini sudah berdiri di sisi ranjang. "Gue nggak minta dibawa ke rumah sakit. Administrasinya juga gue bayar sendiri. Lo kalo mau pergi, silakan."

"Wah ...." Ilana geleng-geleng kepala. "Tadi kamu pingsan. Aku yang nolong, lho. Setelah ngerepotin sedemikian rupa, sekarang kamu main ngusir gitu aja? Nggak tahu terima kasih banget."

Bryant memejamkan mata. Enggan memandang Ilana lagi. Otaknya salah, emosinya juga. Ia menyahut datar, "Makasih atas bantuannya. Tolong tinggalin gue. Gue mau istirahat."

"Oke, aku pergi." Ilana terdengar teguh. "Tapi setelah ketemu mama kamu. Ya, aku perlu bayaran."

Bryant membuka mata jengkel. Rasanya muak diperas. "Lo minta berapa?"

Ilana membuka tas punggungnya, mengeluarkan note spiral dan bolpoin. Disodorkannya dua benda itu pada Bryant. "Ini, bayar pake tanda tangan mama kamu."

Bryant bergeming. Lelucon macam apa ini?

"Ini ambil," Ilana meletakkan pemberiannya di atas dada Bryant. "Anggap aja kamu ikut bales bantu aku. Ayahku fans berat mama kamu. Masa aku nggak ngelakuin apa-apa pas ketemu idola ayah aku? Sebagai gantinya, nanti aku hadiahin kartu nama ayahku. Mama kamu bisa pakai jasa ayahku kalau butuh pengacara. Impas, kan?"

Berbaring di sini sungguh tak nyaman. Bryant beringsut duduk. Sambil memberikan sorot mata tajam dikembalikannya note dan bolpoin Ilana. "Sori, tapi gue nggak bisa bales bantu lo. Nyokap gue nggak bakal jemput ke sini."

Ilana mengerjap lambat. "Kenapa? Oh, apa yang jemput cuma sopir kamu ya? Mama kamu sibuk?"

Lidah Bryant kelu. "Dia nggak suka rumah sakit."

Ilana bungkam seketika. Mata bulatnya mundur bersama langkah pemiliknya. Gadis itu sepertinya sadar tingkahnya kelewat mendesak, berdeham singkat. "Oke, nggak apa-apa kalau gitu." Suaranya kembali lepas, "Tapi aku perlu di sini." Melirik Bryant sebelum melanjutkan, "Bukan buat kamu. Ini supaya aku tenang. Aku perlu mastiin kamu dijemput dengan selamat, baru setelah itu lepas tanggung jawab."

Bryant belum mengubah air datar wajahnya.
"Tenang aja, aku nggak akan tanya macem-macem." Ilana tertawa kecil, membuang pandang, berdeham lagi. "Tapi kalo misalkan kamu mau jawab, aku penasaran kenapa kamu sampe pucat begitu padahal kata dokter kamu nggak sakit apa-apa. Sama satu lagi, bantuan macam apa yang tadinya kamu minta ke aku?"

Tak mendapat respons, Ilana membuat gerakan mengunci mulut. "Saksi menolak. Pertanyaan dibatalkan."

"Bokap gue meninggal di rumah sakit. Serangan jantung." Bryant mendengar suaranya keluar tanpa bisa dicegah, menghentikan langkah Ilana yang sudah ingin beranjak meninggalkan bilik. Gadis itu memandangnya lekat tanpa mengantakan apa-apa. Mungkin berpikir, itu jawaban untuk pertanyaannya yang mana?

Bryant tak berniat mengucap lebih dari itu. Anehnya, ia menarik kedua ujung bibir. Ingin memberi kesan baik-baik saja. Percuma. Setelah dua detik wajahnya kembali datar. Ia menyesali pengungkapannya barusan. Satu beban kembali menumpuk di benaknya: benarkah Ilana sesuai dugaan, tak akan menghakimi setelah tahu segalanya? Sial, harusnya ia tak bicara sama sekali.

"Ah, itu." Ilana tampak terkejut. "Aku nonton beritanya TV. Sori, aku turut berduka cita."

Bryant melihat celah untuk membelokkan percakapan. "Soal temen lo yang baru meninggal, gue juga turut berduka."

Sebelum Bryant memutuskan untuk kembali menutup semua pintu masa lalunya, sebentuk kepala mengintip dari balik tirai. "Bryant?"

Ilana menoleh terkejut.

Bryant menyesal tak memanggil taksi. Ia kenal satu orang yang bisa mendongeng tentang masa lalu kemudian mempreteli tiap kejadian seolah sedang meresensi karya fiksi. Orang itu menyibak tirai, wajah tegangnya mengendur begitu mendapati Bryant duduk tanpa terluka. Mengeryit sejenak memandang Ilana. "Kamu yang nolong Bryant, ya? Kenalkan, saya Adam Wisesa, kakeknya anak nakal ini."

Sekarang, Bryant khawatir masa lalunya dipreteli sekali lagi.

♥♥♥

Manuskrip HujanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora