RINTIK 17: Kita; Jarak Lapisan Langit

224 35 4
                                    

Visual : Rengganis Lusiana

¤¤¤♡¤¤¤

Sabtu, 20 Februari, 20.26

MALAM itu, cuaca gerah. Angin berembus seperti kipas yang bertiup jarang-jarang. Lebih sering terasa pengap seakan udara Bandung berdiam tanpa gerakan. Mungkin tengah malam nanti bakal turun hujan. Atau besok pagi. Yang Ilana inginkan sepulang dari Heaven hanya lekas sampai rumah dan mandi berendam. Ia berusaha memangkas waktu sepuluh menit bersepeda ke rumah dengan mengayuh pedal kuat-kuat. Sedikit kelelahan akan membuat tidurnya nanti lebih nyenyak.

Kompleks perumahannya ramai. Toko bunga di blok depan masih buka; terkesan riang penuh warna mengundang pengunjung dengan suara merdu Adele. Lapangan bulu tangkis terang benderang; sedang ada tanding. Minimarket, warnet, salon, kedai isi ulang air minum, konter pulsa, satu belokan lagi sampai; tapi ia menginjak rem begitu melihat keramaian di depan rumah salah seorang tetangganya, segera putar arah, menghindari basa-basi. Jalan itu membawanya lewat depan rumah Milly. Menginjak rem lagi, heran tak melihat range rover yang biasanya telah parkir di kediaman sahabatnya. Milly pasti pergi jalan-jalan sekeluarga. Ia baru ingat sekarang malam Minggu.

Ilana tertawa sumbang. Matanya panas. Rasanya jengkel sampai ke ubun-ubun. Ya-ya, Milly berduka dan butuh hiburan. Tapi pilihan waktunya buruk sekali. Mungkin dia dipaksa orangtuanya, bisa jadi. Tapi tetap saja ini kelewatan. Dari tempatnya berdiri, Ilana bisa melihat papan ‘dijual tanpa perantara’ yang terpancang di muka pagar rumah Renata. Lalu teringat perselisihannya yang belum rampung dengan Milly.

Sebulan pasca meninggalnya Renata, om Rayhan dan tante Vira memutuskan pindah. Milly bilang, keputusan itu tepat, orangtua Renata butuh suasana baru agar bisa bangkit menata kehidupan mereka. Sementara bagi Ilana, tindakan itu sama dengan mengubur Renata kemudian menghilangkan jejaknya. Seandainya punya uang, ia tak akan berpikir dua kali untuk membeli rumah Renata. Ia tak rela jejak sahabatnya dihapus oleh siapa pun yang nanti membeli rumah itu.

Sejak itu, ia dan Milly mulai banyak berbeda pendapat. Mereka bisa berdebat sengit hanya karena ingin berangkat sekolah bersama tapi sama-sama bersikeras tak mau menumpang dan ingin naik mobil orangtua masing-masing. Jika Renata ada, mobil yang disupiri pak Budi pasti dapat mendamaikan keduanya, mencairkan suasana, dan perselisihan kecil macam itu tak berlarut.

Persahabatan mereka kehilangan penyeimbang. Renata serupa air yang menenangkan tabiat api Milly dan menyeimbangkan Ilana yang setakpasti angin. Mereka sadar tak bisa mengobati luka yang sama satu sama lain. Kebiasaan nongkrong di Heaven dengan sendirinya musnah. Milly menjauh, tak lagi pernah terlihat di salah satu sudut kafe atau berkutat selektif memilih buku-buku latihan ujian di toko buku Heaven. Ilana menyibukkan diri di Heaven, menghabiskan waktu selepas kerja dengan belajar untuk persiapan ujian tanpa sekalipun teringat minta bantuan Milly. Di sekolah, keduanya teguh hanya mau menerima maaf tanpa ada niat lebih dulu mengajukan. Keadaan demikian memakan waktu sebulan, menyadari sepinya makin menjadi. Tapi masih kesal dan enggan lebih dulu minta maaf.

Ilana mengayuh sepedanya mengentak-entak, lekas pulang. Mendapati pemandangan tak kurang dari empat mobil terparkir di halaman rumahnya. Seketika jengkelnya terlupakan. Semangatnya meletup. Sepeda ia parkir serampangan. Berlari mengucap salam dan langsung disambut cengiran lebar ayahnya yang masih rapi dengan kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku.

Ayah menegur setengah ngomel, “Malem amat sih pulangnya? Indra ngasih overtime terus ya?”

Ilana terkekeh, langsung menyalami sang ayah. “Ayah, Paman Indra nggak pernah nyuruh overtime, Ilana yang minta. Ada temen-temen ayah sama bunda, ya? Tahu gini tadi Ilana minta pulang cepet.”

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now