RINTIK 23: Palasari dan Pigura Keluarga (3)

196 41 21
                                    

Ilana menghubungkan mp3 player-nya ke tape mobil. Kakek Adam ingin dengar apa yang sejak tadi ia ocehkan sebagai candu. Ia tak mengarang soal rela dikurung di ruang bawah tanah asalkan bersama mp3 player-nya. Oh, mungkin lebih tepat bersama isi benda mungil sebentuk tabung obat itu: chip kecil kartu memori yang memuat koleksi Sheila on 7. Band asal Jogja itu punya lagu-lagu yang lebih ampuh dari fungsi obat penenang. Membantunya menerjemahkan beragam perasaan pada situasi yang terkadang sulit dikata.


Seringai puas tergambar di bibir Ilana. Suara Duta sampai ke telinga, melambungkan 'Dan' yang liriknya selalu berhasil mengasingkannya ke lamunan. Namun, tak sampai merenung, ia teringat posisinya yang terjepit antara dua jok, lekas mundur ke samping Bryant yang terlelap, lagi.
Setelah tadi meninggalkan Palasari, Ilana pikir akan ada ketegangan antara kakek Adam dan Bryant. Ia keliru. Suasana biasa saja. Kakek Adam berjanji akan menelepon kantor bunda besok di jam kerja. Sisanya, tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan ke Bryant. Ilana mengecek facebook dan postingan video yang meluas itu hilang tanpa jejak. Ia takjub sekaligus merasa bodoh.

Kakek Adam mengamati kemacetan di luar tanpa jengkel. Kepalanya mengangguk mengikuti ritme lagu. "Kakek dulu pernah nonton live konsernya Duta sama teman-temannya ini, lho. Memang kreatif mereka. Selera Nak Ilana bagus."

Ilana merapal lirik seolah itu mantra pengekal ingatan. Tersenyum sopan, menukas sekenanya, "Masa sih, Kek? Temen-temen bilang, seleraku kurang gaul."

"Selera itu ndak ada hubungannya sama gaul-gaulan, tho." Kakek Adam nyengir lebar, melirik Ilana dari spion dalam. "Mengikuti trend itu bukan selera, Nak. Itu gaya hidup. Seperti yang kamu bilang tadi. Asalkan ada candu-mu itu kamu ndak akan kesepian meskipun dikurung. Jadi bukan soal apa kata orang. Ini soal kenyamanan. Betul tho, Pak Win?"

"Njih, Pak Adam," jawab sopir di balik kemudi, "kalau Bapak suka lagu apa?"

Majikan-sopir itu kemudian terlibat percakapan seru seputar campur sari, Didi Kempot, merembet ke pagelaran wayang kulit dan kisah Ramayana, lalu entah apalagi Ilana tak menyimak. Suara Duta makin nyaring. Repetisi lirik bermelodi itu ampuh membungkamnya seperti hujan yang mengingatkan tentang jeda untuk mendengarkan. Ia merapat ke jendela, lekas memejamkan mata. Alih-alih tidur, hanya ingin tak diganggu.

Duta beranjak ke 'Berhenti Berharap' setelah merampungkan setengah lusin judul. Obrolan di jok depan surut. Suara dalam diri yang sejak tadi Ilana redam merangsek pelan, memaksa matanya terbuka. Kakek Adam tidur meninggalkan sopirnya menyetir seraya bersenandung lirih. Mobil bergerak mulus. Macet tertinggal di belakang. Sesekali bunyi berderak terdengar dari desakan kardus-kardus buku di bagasi. Ilana merasa lapar. Tadi ia menolak ajakan makan malam kakek Adam demi lebih cepat sampai rumah.

Matanya perih. Mungkin ia keras kepala. Tapi keinginan mengarahkan mata ke dasbor tepat di atas mp3-nya terpasang mengalahkan kekukuhan semacam itu. Sejak menginjakkan kaki di mobil ini, potret berbingkai susunan stik es krim di sana mendadak jadi poros dunianya. Saat itu mereka bergerak meninggalkan rumah sakit. Ilana merasa tenggorokannya tersekat. Bryant bisu dalam tidur.

Melihat Ilana tak melepas pandang dari pigura tersebut, kakek Adam menerangkan penuh senyum, "Ini hasil karya Bryant dan kakak sepupunya pas kecil dulu, Nak Ilana. Kakek pajang di mobil dari dulu. Kalo ganti mobil, bingkai ini ndak boleh ketinggalan."

Terbata Ilana bertanya, siapa nama anak lelaki berkepala plontos di foto tersebut.

Kakek Adam menjawab, "Nah, itu dia kakak sepupunya Bryant. Namanya Azka. Dia pake jersey, dan yang ompong bawa bola basket di samping Kakek ini baru Bryant. Mereka itu pas kecil partner basket sejati. Sekarang saja karena jarang ketemu jadi seperti bukan saudara. Azka ini tadinya di Surabaya. Tinggal sama Kakek juga setahun belakangan. Tapi beberapa bulan lalu, dia lanjut kuliah ke Jepang."

Keterangan itu terus berputar di kepala Ilana. Ia mengamati jalanan di luar. Mengapa mobil ini tak juga sampai rumahnya? Ia sungguh ingin menangis, memekik atau apa pun untuk meluapkan kebebasan ini. Kini ia tahu bagaimana perasaan seorang tahanan yang dibebebaskan setelah begitu lama mendekam di tahanan. Ia ingin menemui Milly, memeluk erat sahabatnya dan mengatakan bahwa tak lelah berharap bukanlah sebuah kesalahan dan percaya setiap hari bahwa hari esok akan berbeda adalah kekuatan terbesarnya.

Ilana menemukan si Bos. Dan anak itu baik-baik saja. Namanya Azka. Itu berarti, bertahun-tahun lalu ia tak pernah jadi seorang pembunuh.

Sebutir air mata mengalir turun. Jerat kesalahan terlepas dari lehernya. Ilana tersenyum lebar.

Aku bukan pembunuh.

Ia bergumam pada awan kelabu di langit Bandung, "Gugatan dicabut, terdakwa dinyatakan tidak bersalah."[]

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now