RINTIK 1: Siaran Radio Malam Minggu

855 94 4
                                    

Bandung,

21 November, 18.31

Renata Yohana terjebak di belakang lampu merah. Hujan melintasi kaca Vios peraknya dan menghantam aspal dengan berisik. Neon-neon toko pinggir jalan tampak seperti bayangan warna acak di kaca mobilnya. Beberapa detik menyentuh warna-warna itu, jemarinya mengalirkan dingin yang membuat kepalanya kaku sesaat. 

“Neng Rena udah baikan?” Sopirnya bertanya dari balik kemudi.

Renata mengamati alur sungai di kaca mobil, lalu menjawab, “Rena cuma kecapekan aja, Pak Budi. Tadi Dokter Yuni ngomongin soal donor. Katanya jantung Rena memburuk. Beliau saranin pasang alat bantu selama nunggu donor yang cocok.”

Pak Budi menghela napas berat.

“Jangan bilang-bilang Mama ya, Pak. Nama Rena masih di daftar tunggu. Rena nggak mau bikin Mama tambah cemas. Asal tetap jaga pola makan, nggak capek-capek, dan minum obat, Rena pasti baik-baik aja. Soal pasang alat bantu, biar nanti Rena bilang sendiri.” Renata menoleh dan tersenyum meyakinkan, meski tak berniat memberitahu mamanya. “Pak Budi jangan pasang tampang sedih gitu, dong.”

Kening lebar kecokelatan Pak Budi berkerut. “Bapak khawatir atuh, Neng. Pantesan belakangan ini Neng Rena sering kelihatan pucat. Tapi kapan atuh dapet donornya? Perasaan teh Tuan sama Nyonya sering bilang soal donor tapi nggak dapat-dapat sampai sekarang.”

“Soalnya golongan darah Rena AB rhesus negatif, Pak. Agak … istimewa. Renata tertawa pelan. “Pak Budi doain aja, semoga cepat ada donor yang cocok.”

Pak Budi mengangguk. “Pasti atuhNeng. Neng teh yang sabar. Kalo ada apa-apa langsung kasih tahu Bapak.”

“Pasti, Pak.” Renata menyandarkan punggung ke jok sambil merapatkan jaket dan memejamkan mata. “Lagian kan, itu ada di must to do.” Ia mengutip apa yang tertulis di daftar hal-hal yang menurut mamanya harus dilakukan. “Satu, nggak boleh makan makanan cepat saji. Dua, wajib pake jaket dan bawa payung. Tiga, nggak boleh makan makanan berlemak. Empat, nggak boleh hujan-hujanan. Dan lima, kalo butuh apa-apa kasih tahu Pak Budi. Nah, poin lima.” Ia menertawakan daftar yang sejak usia delapan tahun menjadi pagar tak kasatmata hidupnya.

Mama memang cerewet, menjaganya bagai porselen mahal. Beliau hanya butuh satu kalimat untuk menempatkan Renata di kastil tak tersentuh: “Lakukan semua ini kalau kamu mau tetap hidup.” Tentu saja Renata ingin hidup. Melebihi apa pun. Ia masih delapan tahun waktu itu.

Suatu hari, ia dan kedua orang tuanya pergi ke taman. Banyak anak berkejaran, bermain sesukanya. Tidak boleh lari. Renata termangu, harus puas hanya piknik di hamparan rumput, mencoba menghabiskan setangkup roti isi yang terasa asin karena tercampur air mata. Tidak boleh menangis. Ia justru terisak lebih keras. Lalu Mama Papa membawanya ke rumah sakit karena ia mulai sesak napas.

Kesimpulannya, Renata bukan hanya tak boleh melanggar must to do Mama, tapi juga tak boleh menginginkannya, sama sekali. Atau, ia akan mati. Sungguh kejam sekaligus konyol. Dirinya yang dulu tak ingin mati, jadi ia melakukan semua yang tertulis di sana. Sekarang ia hafal daftar itu di luar kepala dan tetap patuh. Bukan karena takut mati, melainkan takut pada segala hal yang dilarang untuknya. Begitu besar dampak rasa takut hingga Renata tak tahu apa sebutan baginya yang terpesona sekaligus takut pada pada hujan. Ia ingin lebur bersama hujan tapi tak pernah berani turun basah. 

“Neng, Bapak boleh setel radio?”

Renata membuka mata. “Bapak seneng dengerin radio?”

“Bapak mah resepan dengerin radio daripada nonton teve. Ada siaran yang bagus kalau malam Minggu gini. Bapak tahu dari anak Bapak yang masih SMP. Resep pisan dia dengerinnya. Bapak jadi ikut-ikutan apal.”

Manuskrip HujanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora