RINTIK 35: Garis Pertemuan

41 1 0
                                    

HUJAN sudah reda ketika Ilana turun ke lapangan parkir Heaven lima belas menit setelah Irza pergi. Dia merapatkan jaket untuk menghalau angin dingin sambil mencari mobil Bryant. Tadi tunangannya itu mengirim WhatsApp karena panggilannya tak Ilana jawab, menanyakan apa mau disusul ke atas. Ilana bilang akan turun sendiri. 

Mobil lelaki itu Ilana temukan di ujung deret area parkir. Dia mengintip ke dalam dan mendapati pemiliknya terlelap di jok kemudi yang sandarannya direndahkan. Sejenak, dia menikmati pemandangan wajah yang lelap itu, kemudian membalikkan tubuh dan bersandar pada badan mobil, mendongak ke langit yang kosong dan berwarna kelabu pekat. 

Wajah damai Bryant ketika tidur mengingatkannya pada memori bertahun-tahun lalu saat mereka ke Jakarta untuk mengunjungi makam ayah Bryant. Sebuah perjalanan yang bisu dan penuh air mata. 

Ilana ingat bagaimana Bryant menggenggam tangannya seakan itu jimat yang memberinya keberanian. Mata lelaki itu bergetar dan tidak mau memandang Ilana atau siapa pun yang mereka temui sepanjang perjalanan. Ketika memasuki area pemakaman, barulah tangan Ilana dilepas dan lelaki itu melangkah terhuyung menghampiri makam ayahnya, menyurukkan kepala ke gundukan tanah bertanda nisan yang retak-retak karena cuaca panas, lalu menangis seolah tak ada lagi hari esok. 

Ilana bersimpuh di sisinya, mengangsurkan payung hitam sedikit lebih rata di atas mereka agar terik matahari tak mengganggu. Dia membiarkan Bryant menumpahkan penyesalan hingga tuntas karena paham betapa tersiksa menyimpan sesal di dada.

Dalam perjalanan pulang ke Bandung-lah, pertama kali dia melihat Bryant tidur dalam semacam ketenangan memuaskan seperti yang dilihatnya barusan, kedamaian—yang bahkan sekarang—membuatnya iri. 

Ilana mengisi paru-parunya dengan udara dingin yang masih mengandung aroma hujan, kemudian memejamkan mata, berupaya mencari di dalam diri, ketenangan serupa yang dimiliki Bryant, tapi perasaan resah dan tak nyaman membuatnya mengernyit terganggu. Tak lama setelah itu, dering ponsel sempurna membuyarkan usahanya. 

Lebih putus asa dibanding kesal, dia mengeluarkan benda berisik itu dari saku mantel dan menatap layarnya tanpa ekspresi. Ini panggilan dari balik punggungnya. 

Suara serak mengantuk menyapanya, “Sayang ....”

Ilana tetap di posisinya. “Ya?”

“Berbalik. Aku mau lihat kamu,” ucap Bryant pelan, “kamu lagi ngapain? Kok nggak masuk?”

Ilana mendongak lagi memandang langit. “Lihat langit.”

“Aku boleh ikutan?” Suara Bryant sudah lebih sadar.

“Nggak usah, kamu di situ aja.”

Embusan napas dalam. “Apa ada masalah? Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Tidak ada. Tidak tahu. Tak ada yang ingin Ilana katakan. Dia hanya merasa tidak nyaman. Pertanyaan itu meluncur spontan. “Menurutmu selama ini aku gimana, Bry?”

“Apanya yang gimana, Sayang?”

“Aku di mata kamu. Aku mau dengar.”

Bryant tak langsung menjawab. Ilana tak benar-benar menunggu, termenung memandang langit.

“Aku sayang kamu,” jawab Bryant dengan nada sungguh-sungguh. “Aku suka segala tentang kamu. Aku suka kamu tetap di sampingku apa pun yang terjadi. Kamu itu keluarga buatku. Keluarga terdekat.”

Jeda panjang. Ilana bisa mendengar napasnya sendiri yang putus-putus dan tak tenang. Juga napas Bryant di seberang sambungan, tenang dan memberi ruang.

Laki-laki itu berkata lagi, “Selama ini aku tahu ada yang bikin kamu nggak tenang.” 

Sebuah tembakan langsung ke sasaran. 

Ilana merasa lidahnya terlipat di rongga mulut. Bahkan dorongan membantah tidak ada.

“Masih tentang orang itu?” 

Bryant bertanya dengan lembut, tapi tetap saja Ilana beringsut tak nyaman. Dia membuka mulut hendak menjawab. Tak bisa. Akhirnya dia memilih mengakhiri sambungan dan berbalik menghadap mobil. 

Bryant keluar dan menatapnya sambil tersenyum tenang. “Jadi masih tentang dia?” ulang lelaki itu. “Tentang Azka?”

Ilana menunduk. Sebenarnya, ada apa dengannya? Mengapa perasaannya bisa sebegini merepotkan dan tak tak tahu diri? 

“Jawab aja, Na,” Suara itu lembut tapi tegas. “Kamu masih mikirin Azka? Kamu sering nggak nyaman karena mikirin dia?”

Masih menunduk, Ilana menjawab sebagian, “Kadang-kadang.”

“Mau ketemu dia?”

Ilana mencari apa pun yang bisa dijadikan petunjuk di wajah tunangannya. Marahkah? Tapi dia telanjur panik dan dipenuhi ketakutannya sendiri. “Enggak, Bry. Bukan begitu maksudku.”

“Jawab aja, Ilana.”

Ilana membuang pandangan. “Enggak.”

“Kamu yakin?”

Tak ada jawaban.

Bryant ikut diam cukup lama. “Ayo ketemu Azka supaya kamu nggak ragu lagi, Na. Selama ini bukan aku yang menghentikan kamu ketemu dia dan menuntaskan apa pun yang mengganjal di hatimu. Kamu yang menghentikan dirimu sendiri.”

Ilana memandang tunangannya itu dengan wajah tersiksa. “Nggak, Bry. Ini semua nggak ada hubungannya sama Azka. Dia itu orang lain. Semua masalahnya ada di diriku sendiri. Aku nggak mau melibatkan orang lain.”

Bryant meraih tangan Ilana. “Kamu yakin?” tanyanya sambil menatap lekat Ilana. “Kalau memang semua ini nggak ada hubungannya sama Azka, ya udah, Na, kamu tetap bisa ketemu dia dan selesaikan apa yang mengganggumu selama ini. Supaya kamu tenang. Dia ada di tempat Bunda. Di rumahmu.”

Ilana terpaku. Dua kalimat terakhir yang baru didengarnya itu terasa seperti lelucon yang salah tempat. “Jangan bercanda, Bry. Aku nggak dalam suasana hati yang cocok untuk itu.”

Tapi wajah Bryant tenang dan serius. “Tadi aku baru dapat kabarnya dari Bunda kamu. Dia pulang ke Indonesia bareng Milly dan kakakmu, Wira. Awalnya nggak ada yang tahu kalau dia sepupuku. Sampai dia nemuin fotoku di rumahmu.” Bryant tertawa aneh. “Orang yang nggak pernah mau pulang itu akhirnya balik, Na. Dan kamu tahu alasannya apa? Dia mau ketemu kamu.”[]

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now