RINTIK 20: Tragedi Tutup Mulut

217 36 14
                                    

Selasa, 23 Februari, 14.30

HAL tersulit dari melewati tragedi adalah menjelaskan luka. Di mana kau menempatkan diri; titik mana dianggap benar, alasan apa yang menempatkanmu di titik salah. Dalam tragedinya, Bryant punya alasan tapi enggan menjelaskan. Sekuat apa pun alasan, kesalahan selalu bisa membanting lebih keras. Terutama untuk orang sepertinya. Ia menyumpal sang pemicu tragedi dengan uang. Jumlahnya amat-sangat layak untuk ukuran ‘tutup-mulut-seumur-hidup-lalu-enyah’.

Setelah menelan uangnya, mengapa gadis gaun merah itu masih menampakkan diri di depannya, pun dengan tatapan seolah menemukan harta karun untuk dikuras? Mustahil gadis itu tak ada niat demikian setelah jauh-jauh datang ke restorannya, di Bandung pula! Ini bukan rentang liburan bagi siswa tahun akhir SMA yang sebentar lagi menghadapi Ujian Nasional!

Bryant yakin seribu persen gadis itu ingin memerasnya. Tapi bukan itu yang membuatnya ketakutan setengah mati. Jika kau pernah mengalami hal buruk dan baik-baik saja setelahnya, mungkin kau perlu ragu. Sungguhkah kau ‘oke’? Setiap orang terluka lalu sembuh. Selalu ada waktu untuk dua hal itu. Jeda untuk menerima. Bryant tak mengalaminya. Dan sekarang ia tahu, dirinya tak terluka karena baginya bukan kenangan yang menyiksa. Ia butuh pemicu nyata. Dan pemicu tersebut datang dalam sekian mikro detik lewat rekah senyum si gadis gaun merah.

Namanya Mirina.

Siang itu, bel pulang memuntahkan manusia dari gerbang Tirta Kencana. Angkutan umum berjajar sepanjang gang depan. Motor-mobil mengklakson minta minggir deretan siswa pejalan kaki. Bryant bersepeda keluar gerbang. Menunggu Ilana agak jauh dari kerumunan. Sial, yang didapatnya justru seringai di bibir merah Mirina. Bidadari bertanduk setan itu, bagai siswa lokal, tahu benar spot tepat hingga Bryant seolah memang berhenti untuk menyambutnya.

Mirina menjauhkan punggung dari badan taksi biru, memamerkan lambaian tangan membalas wajah beku Bryant. Helai sutera rambutnya yang senantiasa tergerai dibalut cat kemerahan, berkilau diterpa matahari. Seragam pas badannya penuh coretan warna pelangi, tanda tangan pakai spidol dan lipstik, juga cap bibir di bagian saku dan dekat badge logo sebuah sekolah yang tak Bryant kenal. Hanya Mirina yang cukup gila memakai seragam penuh coretan padahal Ujian Nasional masih sebulan lagi. Tapi tak ada yang menganggap gadis itu kurang waras. Mirina tahu pesonanya. Gadis itu senang jadi magnet seluruh mata. Terutama jika tujuannya betul untuk memeras.

Bryant sadar, mustahil menghindar. Kasak-kusuk mulai terdengar. Banyak yang jelas-jelas mengambil tempat untuk menonton. Seakan tak menyadari perhatian orang-orang sekitar, Mirina menghampirinya. Memamerkan senyum memikat yang pernah coba Bryant sukai, tapi tak bisa. Pun Mirina tak peduli. Bagi gadis itu lelaki sekadar bisnis. Dia bersedia dibawa ke mana pun asal ada uang.

Tanpa risi oleh tatapan menghunusnya, Mirina mendekatkan bibir ke telinganya, berbisik, “Lo ganteng pake sepeda. Tapi bukan berarti lo jadi kere, kan?”

Dalam satu sentakan, Bryant memundurkan sepeda. “Udah gue bilang, jangan pernah muncul lagi di hadapan gue.”

Mirina tertawa renyah. Matanya genit mengerling sekitar, mematah jarak yang Bryant buat dan berbisik lagi, “Tapi gue punya souvenir buat lo, rekaman kita yang waktu itu. Belum lupa, kan? Terus, masa lo diem aja setelah gue kirimin cokelat raksasa pas valentine kemarin. Bilang makasih, dong!”

Jantung Bryant berdentam keras. Tangannya berkeringat mencengkeram kuat handle sepeda. Napas Mirina hangat di telinganya. Pelan ia membalas, “Mau lo apa?”

Masih di telinganya, Mirina terkekeh. Gadis itu berbisik lebih pelan tapi tajam, “Kecelakaan, Bry. Gue hamil. Perlu ada yang nikahin gue.”

Bryant tak merasakan kepalan tangannya. Kebas. Ingin mengumpat, tapi yang didengkusnya justru tawa samar. Dengan asal, ditariknya seorang murid untuk membawa sepedanya kembali ke parkiran sekolah. Lalu mencekal Mirina masuk ke taksi.

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now