RINTIK 34: Pembawa Pesan dari Masa Lalu

11 1 0
                                    

Susah sekali menjadi bukan dirimu, tapi jauh lebih susah berusaha menjadi dirimu ketika tak bisa mengingat seperti apa kamu selama ini. Tiba-tiba sudah menjalani kehidupan dengan identitas dan segala urusannya. Seperti melayang dan lupa bagaimana rasanya mendarat. Begitu pikir Ilana sambil mengamati Bryant mengeluarkan seloyang roti yang menguarkan aroma manis dari oven. 

Bukan berarti Ilana tak menginginkan hidupnya yang ini. Hidupnya lengkap dan dia cukup bahagia. Satu-satunya kekurangan adalah perasaan kurang dalam dirinya. Kurang itu menimbulkan kekosongan yang timbul tenggelam. Tidak terlihat, tapi ada. 

Menghindar adalah caranya bertahan. Biasanya dengan menyibukkan diri. Jadi, sementara Bryant memotong roti jadi persegi kecil-kecil dan menaburkan gula halus di atasnya, Ilana membuka ruang obrolan khusus para pembaca bukunya dan memaksa diri untuk fokus. Banyak yang mengirim foto acara booksigning tadi. Ia berhenti menggulir layar saat menemukan foto antrean orang. Laki-laki yang mengaku mengenal Renata tampak di foto tersebut. Tadi Shinta menyuruhnya menunggu booksigning selesai jika ingin bicara dengan Ilana. Kafe sudah tutup karena disewa Bryant khusus untuk acara tadi. Mungkin lelaki itu menunggu di toko buku.

Sejak punya hubungan dengan Bryant, Ilana jadi ikut sering dikejar reporter. Lelaki tadi jelas salah satunya, tapi mungkin bukan jenis pencari gosip—yang seperti ini tak pernah menyinggung nama Renata. Sebaiknya Ilana mengecek ke atas. Lagi pula ia perlu menenangkan diri dan ide keluar dari dapur Heaven terasa lebih baik dibanding merasa seperti penjahat di depan calon suami baik hati.

Ilana buru-buru menegakkan punggung ketika Bryant menyajikan rotinya dan duduk di seberang meja. “Kamu bisa makan ini dulu kalau keburu lapar, Sayang. Kita punya sejam sebelum ke tempat Ayah sama Bunda. Mau kubantu pilih variasi menunya supaya kamu bisa makan?”

Mereka janji makan malam di tempat orang tua Ilana sekaligus membicarakan rancangan pesta pernikahan. Bryant menyerahkan selera tampilan pada Ilana, tapi pada praktiknya, Bunda-lah yang paling banyak membuat keputusan. Bunda meminta Ilana menginap malam ini agar besok bisa pergi bersama mengepas kebaya resepsi.  

Ilana mendorong katalog menu yang sudah selesai ia tandai ke seberang meja. “Aku udah selesai, kok. Kamu bisa lihat dulu.” 

Sebagian besar pilihan Ilana mengikuti standar variasi menu. Hanya dibedakan pada hidangan penutup agar kelihatan wajar. Ia tak bisa memikirkan apa yang akan dimakan tamu-tamunya ketika acara itu mungkin saja tak pernah…. Ia buru-buru memakan sepotong roti, menahan lelehan keju panas di mulut demi menyadarkan diri. Setelah cukup tenang, ia memberanikan diri menjalankan niat. “Bry.” 

Bryant berdeham tanpa mengangkat wajah dari katalog.

“Aku perlu ke atas sebentar. Ada yang nunggu aku.”

“Siapa yang nunggu kamu?” Bryant menatapnya. 

Karena tak ingin ditanya macam-macam atau membuat Bryant khawatir, Ilana mengarang alasan. “Penggemarku yang tadi datang pas acara.” Ia menambahkan dengan nada ceria dibuat-buat, “Kebetulan dia punya informasi yang kubutuhin buat novelku. Aku pernah cerita lagi garap novel yang tokohnya instruktur yoga. Masih ingat?” 

Kening Bryant berkerut dalam. “Yang mana, sih, Sayang?”

“Yang waktu itu aku ceritain pas pulang dari Bali.” Ilana memasang tampang yakin. “Sebentar aja, kok. Abis itu baru kita ke tempat Bunda.”

Meski masih kelihatan bingung, Bryant akhirnya mengangguk. “Ya udah. Mau aku temani?”

Ilana buru-buru menggeleng. “Kamu tunggu di mobil aja. Aku nggak akan lama.”

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now