RINTIK 26: Cinta Tanpa Titik

259 37 14
                                    

♡♡♡

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

♡♡♡

Selasa, 24 Januari

“AKU cinta kamu tanpa titik?”

Ilana menjenguk tangan Shinta: cakar ayam tinta merah di halaman prancis Fear karangan Lafayette Ronald Hubbard cetakan tahun 2000. Senyumnya mengembang. “Itu hadiah dari Bryant pas aku dua satu, Mbak. Jangan disumbangin, taruh di rak paling atas aja.”

Manajer toko berusia tiga puluh dua tahun itu membuat kombinasi menggeleng, berdecak, dan tertawa. Memanjat tiga anak tangga untuk menyimpan buku tadi ke tempat yang Ilana minta. Berceloteh sambil memijak turun, “Ya ampun, Na, masa ulang tahun hadiahnya buku horor pake kalimat cinta? Nggak matching banget tunangan kamu itu. Tapi lucu sih—orangnya maksud aku. Aneh, cute, ganteng lagi. Coba dulu yang ketemu dia aku duluan. Pasti kugebet tuh. Tapi, dia kan tajir. Harusnya kamu minta yang lebih istimewa kalo lagi ulang tahun.”

Ilana tergelak. Meraup segepok Gallagher Girls series dari tingkat lima rak dan meletakkannya di meja kerja. “Istimewa kan relatif, Mbak. Tapi dia romantis kok. Kayak kalimat yang tinta merah tadi, itu khas dia banget. Kalimat itu nggak pernah absen dari apa pun yang dia kasih. Seinget aku, Bryant nggak pernah bilang ‘sayang’ atau ‘cinta’ tanpa embel-embel kata ‘tanpa titik’.”

“Emang tanpa titik artinya apa? Bagus, sih. Dia kayaknya membanjiri kamu dengan banyak cinta. Berarti sayang beneran dia. Tuntutannya berat tapi, Na. Paling enggak, cinta kamu harus sebesar dia atau bahkan lebih. Cinta itu seringnya pamrih. Jangan percaya jargon cinta tak harus memiliki. Bullshit itu. Langka. Kasus kepepet aja.” Tangan Shinta menggapai acak buku di bagian pojok susunan keempat rak. Nama Knut Hamsun mencuat samar dari celah jari gemuk wanita itu. Percakapan barusan menguap. Mata Ilana tertanam was-was ke buku di tangan Shinta. Ia meringis. Sesuai dugaan, Shinta menjejalkan buku favoritnya itu ke kardus setengah penuh bertuliskan sumbangan buku di kaki meja.

“Aduh, Mbak. Kayaknya kamu bakal menjarah semua buku favorit aku deh,” keluhnya geli setelah mengamankan Knut Hamsun. “Jadi gini, Mbak. Ada tiga kategori buku. Satu, yang bagus dan haram dikasih orang. Dua, yang bagus dan perlu dibagikan ke orang. Tiga, yang bagus hanya untuk sekali baca dan sebaiknya orang lain yang belum mengalami yang sekali itu ikutan baca juga.”

Shinta mendongak mengamati rak menjulang banjir buku di hadapannya. Tersenyum miring. Berkacak pinggang. “Gimana coba cara bedainnya?”

“Harusnya sih itu auto, Mbak. Pengarangnya biasanya terkenal, bahkan setelah seabad meninggal.” Ilana menggaruk dagu. “Gini aja deh. Mbak pisahin antara yang sastra dan populer. Yang klasik dan kontemporer. Terus yang lokal dan luar. Nanti aku pilihin mana yang harus disumbangin.”

Shinta menarik lagi sebuah buku dari rak. Tampangnya cemberut. Kali ini Victor Hugo yang kena. Ilana buru-buru menyelamatkan penyair Prancis kaliber itu dengan menawarkan apel-apel segar di meja depan sofa. Dengan senang hati wanita itu duduk bersandar memeluk bantal gemuk, menggigiti apel sambil mengamati Ilana melanjutkan berkemas buku untuk acara bakti sosial di panti asuhan kakek Adam. Yang mengadakan sebuah komunitas penulis. Ilana diundang sebagai pembicara. Kakek Adam berhalangan hadir. Jadi ia bakal terjun juga sebagai tuan rumah menggantikan kakek tunangannya. Buku-buku yang ia kemas ini akan digunakan sebagai hadiah untuk anak-anak. Sisanya bakal menghuni perpustakaan panti.

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now