RINTIK 13: Adam, Drupadi, Pitaloka

210 43 14
                                    

Sabtu, 5 Desember, 20

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sabtu, 5 Desember, 20.03

Petang mendaulat hari sejak berjam-jam lalu. Hujan tumpah lagi. Dalam sedan silver yang dikemudikan Pak Budi, Milly duduk gelisah sementara di sisinya Ilana sibuk menghubungi teman-teman sekolah yang mungkin jadi tempat pelarian Renata. Milly ikut menelepon sana-sini tadi, tapi bagiannya sudah habis. Ilana punya lebih banyak kenalan dan jadi sangat sibuk meraba kemungkinan dari segepok nama di kontak ponselnya. Mereka berkeliling sejak siang. Sejauh yang Milly tahu, Renata anak rumahan. Paling sering mereka bertemu di sekolah, rumah atau Heaven. Renata bukan Ilana yang bakal menyambangi lapangan kosong atau tempat-tempat sepi untuk menghindari orang. Sulit menebak arah tujuan sahabatnya itu.

Macet akhir pekan tak memberi barang lebih cepat satu kilometer saja perjam. Mobil mereka merayap bagai liliput kurang makan. Lama-lama Ilana menyerah juga pada daftar nama di kontaknya. Melihat ekspresi keruh gadis itu, Milly tak bertanya, hanya menyandarkan punggung sambil melarikan pandang ke luar mobil. Di sisi mobilnya, seorang pengamen cilik bernyanyi diiringi petikan ukulele. Basah kuyup. Tak terdengar menyanyi apa. Tirai air makin rapat. Tak tega, Milly buru-buru menurunkan kaca mobil dan menyerahkan selembar lima ribu. Anak itu pergi girang. Milly termenung.

Secara nalar, Milly sadar selama ini perasaannya pada Renata terlalu teknis. Ia tak pernah repot-repot mendalami dengan hati seperti apa perasaan Renata yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan dalam bayangan penyakit. Bagi Milly, pengertiannya sebagai sahabat cukup pada solusi dan keberadaan nyata. Hubungan itu bukan kepura-puraan. Dan Milly tampil apa adanya meski kadang sosoknya tampak terlalu tegak, lebih sering larut dalam ambisi.

Matanya memanas. Kalaupun ambisi itu berhasil menarik profesi dokter menjadi bagian dirinya, sia-sia, ia tetap tak bisa melakukan apa pun untuk menolong Renata. Dienyahkan prasangka yang mulai membanjiri pikiran tak menentunya. Jika Renata bisa bertahan, Milly berjanji akan jadi dokter terbaik. Tapi butuh waktu untuk itu. Renata butuh pertolongan sekarang, bukan nanti. Diembuskan napasnya keras-keras. Lamunan ini toh tak akan mendatangkan Renata. Milly menoleh pada Ilana, gadis itu kembali sibuk dengan ponselnya. Pak Budi diam tetap bungkam, sesekali menyeka ujung matanya yang basah.

"Pak Budi, apa Rena pernah minta diantar ke stasiun radio?" tanya Ilana tiba-tiba. Matanya bergantian memandang layar ponsel dan wajah Pak Budi. "Nama radionya Drupadi."

Pak Budi tampak berpikir. "Seingat Bapak sih nggak pernah, Neng. Tapi waktu itu, Bapak teh pernah cerita soal radio yang bacain surat cinta gitu ke Neng Rena. Keliatannya Neng Rena suka. Tapi setahu Bapak nggak pernah kalo langsung datang ke stasiun radionya."

Milly mendekat ikut melihat layar ponsel Ilana. Sebuah nomor tak dikenal mengirim sms: Renata di Drupadi Radio. "Kira-kira siapa yang kirim, Na?"

Ilana menggeleng, buru-buru menekan tombol hijau untuk menghubungi si empunya nomor. Gadis itu kembali menggeleng dengan kerutan kening makin jelas. "Nggak aktif nomornya, Mil."

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now