RINTIK 31: Kelompok Penunggang Kuda

150 15 6
                                    

--------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

--------

Kenangan hari itu sering muncul di kepala Adit dalam bentuk rekaman tak berwarna. Renata duduk di kursi kemudi mengenakan sweter kelabu, seragam putih kelabu, sepatu kets kelabu. Pikiran apa yang tersembunyi di balik mata ramah itu? Lampu lalu lintas menghitung mundur dalam angka hitam berlatar kelabu; hujan terdengar gaduh; dunia pucat dan murung.

Bagaimana jika hari itu mereka tak mampir untuk menikmati es krim dan hujan? Renata pasti hidup. Begitu lulus SMA, dia mendaftar ke perguruan tinggi, manuskrip Kelompok Penunggang Kuda akhirnya diterbitkan, dan dia akan menulis kisah-kisah lain yang tak kalah menarik. Adit menjalankan studio kecilnya, sesekali ke Drupadi untuk pekerjaan di balik layar, memotret lebih banyak, dan pada waktunya nanti menggelar pamerannya sendiri.

Kehidupan akan berjalan senormal itu.

Tamparan hawa dingin di wajah menyadarkan Adit. Ia menghidu aroma laut yang diterbangkan angin begitu memijak lantai unit apartemennya. Otaknya terasa melompong. Kakinya bergerak otomatis ke unit 603. Tangan kanannya melesak ke saku dalam mantel, mencari benda yang harusnya ada di sana, terus mengaduk, tapi justru menemukan lubang menganga.

"Brother, apa kabar? Sudah lama aku tak melihatmu."

Seorang lelaki berkulit sawo yang benar-benar matang dengan tinggi hampir dua meter tiba-tiba sudah berdiri di samping Adit. Menghentikan troli berisi keranjang sampah sebesar drum seratus liter, tersenyum memamerkan deretan gigi yang putih mengilap.

Dia Ammar. Penghuni unit 201. Usianya sekitar pertengahan tiga puluh. Dari Afghanistan, menikah dengan wanita Jepang. Istrinya menjadi mualaf mengikuti keyakinannya. Bukan petugas kebersihan. Tapi dia mendapat persetujuan dari seisi bangunan untuk menjadi relawan kebersihan hari Senin yang mengumpulkan sampah yang biasanya menggunung di depan pintu tiap unit—sisa pesta atau kumpul-kumpul di hari Minggu. Sebagian besar berisi botol-botol kaca bir, kardus makanan siap saji, sampah plastik, dan benda-benda lain yang bisa didaur ulang. Karena petugas kebersihan dari gedung hanya berkeliling tiap Minggu pagi—yang artinya—tanpa relawan, sampah-sampah itu baru akan dipungut seminggu kemudian—semua orang berterima kasih pada Ammar, kecuali Adit.

Dulu Adit menganggap Ammar tetangga yang baik. Lalu suatu hari, tanpa sengaja Ammar mengetahui bahwa Adit seorang muslim, dan jadi sangat cerewet begitu menemukan setengah lusin botol bir di depan pintu apartemen Adit. Waktu itu, Adit berkata dia bukan umat beragama yang taat dan meminta Ammar jangan ikut campur. Ammar memang tak lagi mengusik masalah tersebut. Tapi Adit lebih nyaman menjaga jarak. Ia tak suka orang yang melebihi batas.

Tanpa mengindahkan kehadiran Ammar, Adit mencemplungkan tangan ke saku-saku lain yang menempel di tubuhnya. Mengaduk-aduk tak sabar. Nihil.

"Sepertinya kau kehilangan sesuatu. Kuncimu?" Ammar tertawa ramah, masih mengamati. "Belakangan ini banyak sekali yang kehilangan kunci. Kemarin aku baru membantu membuat duplikat untuk Mizuki-san yang tinggal di lantai lima. Harusnya bangunan ini mengikuti perkembangan zaman. Tempat-tempat lain sudah pakai kunci digital. Mau kubantu mencari kunci serep di lobi?"

Manuskrip HujanWhere stories live. Discover now