Babak Dua: Kabar di tengah malam

47 3 3
                                    

D E V O N N A   P O V

Seminggu telah berlalu dan kini sudah memasuki pertengahan November. Aku menatap keluar dari jendela gedung gym yang begitu besar dan panjang, bahkan hingga menyentuh langit-langit ruangan ini. Tidak ada kabar yang sampai kepadaku tentang donor jantung untuk Spance. Hatiku merasa gundah, aku tak bisa tertidur dengan nyenyak memikirkan itu semua, aku seakan merasa bersalah kepada Spance karena memberikan harapan palsu kepadanya. Aku mengambil ponsel di dalam saku jaketku, melihat pesan terakhir yang aku kirimkan ke orang tersebut dan pesan terakhir itu tak lain adalah pesan pertamaku kepadanya. Kedua ibu jemariku bergerak dengan cepat di atas layar ponsel, membentuk kalimat panjang dalam box pesan singkatku dan ketika aku ingin menekan tombol kirim. Ibu jemariku beralih kepada tombol delete.

Hati dan pikiranku tidak sejalan, seakan seperti Torreto dan Brian yang berpisah di persimpangan jalan pada film Fast Furious 7. Pikiranku berbisik bahwa orang itu kemungkinan hanya membohongiku, tapi di sisi lain aku tak dapat mempercayai itu karena Dokter Andrew sendiri yang memberi informasinya kepadaku. Kemudian, hatiku juga berbisik. Aku harus lebih sabar, seperti apa yang dibilang Spance ketika dia nyaris melakukan mogok minum obat seperti yang pernah aku lakukan dahulu. Mencari seorang donor itu tidak mudah. Mereka bukan orang asing yang dapat kau temui di jalan kemudian kau tawari seakan dirimu adalah salesman berpengalaman dan kemudian mereka mengatakan "Baik saya setuju."

Aku menarik nafas panjang dan kembali memasukkan ponselku. Kini tatapanku terarah kepada Joey yang sedang berlatih intonasi dan bahasa tubuh bersama guru seniku. Dia terlihat tidak begitu menikmati setiap detiknya, tetapi aku salut bahwa dia tetap bertahan dan terus mencoba. Rambutnya panjang hitamnya terkuncir man bun rapih, jaketnya ia taruh di atas piano dan kini dia hanya memakai sebuah t-shirt putih polos dengan gambar wanita memakai kacamata.

"Kau harus menatap penonton dan" ucap guru seni kami sembari membetulkan posisi kepala Joey dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "—tersenyumlah sedikit. Lihat, kau begitu menawan! Orang-orang tidak akan merasa takut dengan hal ini." lanjutnya.

Joey hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian guru kami mempersilahkan kami untuk mengakhiri sesi latihan kali ini. Joey mengambil jaketnya. Dia loncat begitu saja dari atas panggung yang sudah di tata rapih oleh para panitia. Sebenarnya, dia tidak terlihat meloncat karena kakinya panjang, tetapi sudahlah... bagiku itu seperti loncat versi orang bertubuh jangkung. Dia berjalan mendekatiku yang duduk di bangku penonton, mengambil tasnya dan duduk di sebelahku.

"Kau ingin minum?" tanyaku sambil menyodorkan satu botol air mineral kepadanya.

Joey melihatnya terlebih dahulu sebelum mengambilnya. "Terima kasih banyak!" tukasnya dan kemudian mengenggak habis.

"Geez... slow down, boy." ucapku sembari terkikih. "Kau tahu, aku melihat bahwa kau mengalami peningkatan. Wajahmu tidak sekaku dulu, sepertinya latihanmu berhasil dengan sempurna."

Joey menyeka keringatnya dengan pergelangan tangannya. "Ini hanya menandakan jika aku mulai kembali seperti Joey yang dulu." jelasnya dan dia melihatku. "Mau pulang?"

Aku segera bangkit dengan membawa tasku. "Ayo." ajakku.

Kami kemudian berjalan bersama, tidak ada perbincangan di antara kami dan terlebih Joey juga sedang mendengarkan lagu yang terdengar begitu nyaring walaupun sudah memakai earphone. Kami berpisah di depan gerbang sekolah, dia langsung melaju pesat menggunakan sepeda motornya. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, di sini begitu sepi. Kemudian aku menoleh ke belakang melihat dormku di sana. Aku mendesah dan memilih untuk berjalan pulang menuju dormku.

Ketika aku memasuki dorm-ku, rasanya begitu nyaman. Kedatanganku seakan tidak mendapatkan penolakan dari siapapun bahkan—mungkin—mahluk halus sekalipun. Aku berjalan mendekati lemari pendingin, memeriksanya dan bersyukur masih terdapat sisa makanan yang dapat mengganjal perutku nanti malam. Aku memutuskan, malam ini akan berada di sini saja.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang