Babak Dua: Rahasia yang terkuak

41 3 1
                                    

Aku mengetuk pintu rumah, sebelum ketukan ketiga, ayahku sudah membukakan pintu untukku. Matanya sangat merah, wajahnya terlihat begitu panik dan penuh dengan kebingungan. Aku mengeritkan dahiku sambil menatapnya.

"Ayah, ada apa?" tanyaku.

"Syukurlah kau datang." jelas ayahku dan dia mengajakku unutk masuk ke dalam. Ayah menutup pintu. Aku berdiri di tempatku sekarang sembari melihatnya. Dia kini menatapku dan memegang kedua tangaku. "Devonna, ayah ingin meminta tolong padamu—"

Aku menghembuskan nafas lega sembari menelan air ludahku. Ayahku belum mengetahui apa yang terjadi padaku ternyata. "Apa yang bisa aku bantu?" tanyaku.

"Spance... . Ayah tidak tahu harus berbuat apa lagi." ucap dia dengan nada menyerah. "Spance mengunci kamarnya setelah dirinya tak sengaja mendengar kami membicarakan tentang donor jantung ini. Dia sudah tidak keluar dari tadi dan ini sudah saatnya dia harus meminum obatnya." ucap ayaku dan dia menggenggam tangaku lebih erat lagi. Ayah mendekatkan sedikit tubuhnya kepadaku, aku bisa melihat matanya seakan memohon kepadaku. "Devonna, kau sudah melewati masa seperti ini dan ayah berpikir bahwa kau bisa membujuknya untuk membuka pintu kamarnya." lirihnya

Aku terdiam sambil menatapnya, "Ayah ingin aku memberi tahu tentang penyakitku kepada Spance?" tanyaku dengan nada lirih.

"No... tolong kami untuk membujuknya keluar saja dan meminum obatnya." jelas ayahku.

Aku menarik nafasku. "Baiklah, di mana kamar Spance?"

Ayahku tersenyum dengan bangga, dia kemudian mengarahkanku kepada kamar Spance. Di sana sudah ada Justine yang memegang nampan berisi makanan dan obat-obatan yang harus Spance minum. Justine terus membujuk Spance agar dia membukakan pintu untuknya.

"Mengapa kau membawa dia ke sini, Evenmore?" tanya suara seseorang yang tidak asing di telingaku.

Aku menoleh mengikuti suara itu. Di sana, berdiri seorang wanita tua dnegan pakian yang sederhana tetapi aku yakin harganya akan membuat mataku terbuka lebar setelah mendengarnya. Dia menatapku dengan tatapan jijik dan rendah. Nafasku terhenti untuk beberapa saat, itu nenekku, orang yang paling tidak merestui keberadaanku di muka bumi ini. Dia menyipitkan kedua matanya, melihatku yang berdiri tak berkutik di depannya. Ayahku langsung berdiri di sebelahku dan merangkul pundakku.

"Mother, dia di sini untuk membantu kita." jelas ayahku.

"Kau tak perlu bantuannya, kita bisa melakukan ini sendiri." jelas nenekku dengan nada kesal. "Dia hanya menambah suasana semakin penat saja." lanjutnya dan setelah itu ia pergi melalui diriku.

Aku menghembuskan nafasku, rasanya begitu menyakitkan mendengar dia mengatakan kalimat itu. Kebenciannya masih saja sama seperti terakhir kali kami bertemu bahkan mungkin akan semakin meningkat setiap harinya. Tapi, apa yang aku harapkan? kebencian dirinya kepadaku juga merupakan kesalahanku sendiri dan aku berhak menerima rasa benci darinya dan memakannya seperti makanan sehari-hariku.

"Kau tidak apa-apa, Devonna?" tanya ayahku.

"Ya... ." jawabku lirih. Aku berjalan mendekati Justine. "Let me help... ." pintaku dan Justine sedikit menyingkir dari depan pintu.

Aku menarik nafas panjang dan memejamkan mataku. Tanganku terangkat ke atas, bersiap untuk mengetuk permukaan pintu yang terkunci rapat di depanku. Aku menghembuskan nafas perlahan dari mulutku dan bersamaan dengan itu aku membuka kedua mataku. Aku mendaratkan ketukan pelan di permukaan pintu beberapa kali, sebelum memanggil nama Spance.

"Spance, bisa kau buka pintunya???" tanyaku dan tak ada jawaban apapun dari dalam sana. "Ini aku, Devonna."

"Mengapa kau di sini?!" tanya Spance dengan nada kesal—no, mungkin lebih tepat keputusasaan—dalam kalimatnya.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang