Babak Dua: Permintaan Maaf

36 2 0
                                    

J O E Y   P O V

Suara kicauan burung membuatku tersadar, aku membuka mataku perlahan dan hal pertama yang aku lihat adalah deduanan yang menari di antara sinar mentari pagi. Aku melihat sekitarku, perapian sudah padam dan meninggalkan abunya saja. Aku menatap Devonna yang tertidur di depanku, posisinya duduk sepertiku. Aku melihat kakiku yang terluka, terlihat membaik dan terlebih sepertinya Devonna mengganti perbannya. Aku berusaha untuk mendorong tubuhku bangkit dan berjalan mendekatinya.

"Dev... ." Lirihku sambil menyentuh tubuhnya perlahan.

Kepalanya seperti tangkai bunga layu yang selalu bergerak ke kanan dan ke kiri. Setelah beberapa lama, akhirnya ia terbangun. Devonna mengambil nafas panjang dan meregangkan seluru otot tubuhnya. Dia melihatku dentan tatapan mata yang masih penuh dengan kantuk itu.

"Bagaimana dengan kakimu?" tanya dia.

"Lebih baik. Sekarang kita harus pergi dari sini." Balasku.

Devonna segera bangkit dan dia membereskan segala peralatan yang masih berserakan di sekitar kami. Setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan kami mencari jalan keluar. Kami melewati jalan yang sebelumnya kami lewati, beberapa kali kami tersasar tetapi untungnya kami dapat menemukan beberapa patokan yang kami ingat. Devonna membantuku berjalan, dia membiarkan aku menopang di tubuhnya. Sesekali kalu melihat Devonna, dia terlihat kelelahan dan wajahnya tampak pucat—tidak seperti kemarin.

"Devonna!!!" Seru suara dari kejauhan.

Kami berdua saling menatap satu sama lain. "Kami di sini!!" Teriak Devonna.

Kami berjalan mengikuti suara itu, bahkan aku tidak lagi peduli dengan kaki yang sakit ini. Kami terus mempercepat langkah kami, hingga kami dapat bertemu dengan pasukan pramuka yang sedang mencari kami. Mereka berlari ke arah kami dan dengan segera menggantikan tubuh Devonna yang sebelumnya menopang diriku.

"Kau tidak apa-apa?" Tanya Ryan mendekati Devonna.

"Ya." Lirih Devonna dan kemudian dia berjalan menjauh.

"Dev...?" Ryan melihat pacarnya itu menjauh. Ryan melihatku dan mendekatiku. "Dari mana saja kalian?!"

"Hutan." Jelasku.

"Bagaimana bisa?" Tanya Ryan dengan nada curiga.

"Dengar, jika kau curiga denganku maka buanglah—jelas aku tidak melakukan ini dengan sengaja." Balasku dan mendesis sakit ketika salah satu seorang anggota pramuka memeriksa luka di kakiku. "Tetapi yang aku tahu, kau harus berbicara dengan Devonna." Lanjutku.

"Apa maksudmu?" tanya Ryan dengan dahinya yang mengkerit.

"Dia tahu." Lirihku, "Dia tahu tentang rencana kita." lanjutku.

Ryan menarik nafas panjang dan dia segera berlari menyusul Devonna. Para anak pramuka ini membawaku menuju tenda kesehatan dan di sana ada Hailee yang sedang menjilati lollipop manis warna-warninya.

"Kau membuat satu sekolah ribut. Kau senang kau terkenal sekarang?" tanya dirinya dan ia melihat kakiku. "Apa kau bahkan belum puas dengan lehermu?"

Aku hanya terdiam dan duduk di atas kasur pemeriksaan. Hailee membuka perban yang menutupi lukaku perlahan, dia memeriksanya dan jujur saja dia tidak begitu manusiawi—itu terasa sangat sakit, bahkan aku harus menggenggam pinggiran kasur dengan kencang ketika dia melakukan itu. Hailee mengambil sesuatu dari tas besar yang mencurigakan di sudut tenda.

"Ini untuk membersihkan lukamu." Jelasnya memperlihatkan cairan yang tak aku ketahui. Hailee membuka penutup cairan itu dan menuangkannya di atas lukaku.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang