Babak Dua: Apa yang kau lihat?

37 3 3
                                    

"Tidak masalah, aku sudah terbiasa lagi pula." ucapku. "Jadi kita saudara ya?"

"Ya, jujur saja aku merasa sangat canggung sekarang." tukas Keen sembari terkikih.

"Kalau begitu, ini saatnya aku memberi tahumu sesuatu. Aku tidak ingin kau terkejut dikemudian hari dan aku sangat berharap, kau tidak memberi tahu ini kepada siapapun." jelasku dengan serius.

———

Mobil terus melaju di bawah langit malam kota Denver. Kami masih terdiam beberapa saat, keheningan yang canggung di antara kami seperti membisik layaknya iblis jahat yang hendak menggodamu untuk melakukan sesuatu yang nakal.

"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Keen dengan nada serius.

Keadan kini semakin menegangkan, udara dingin yang keluar dari pendingin mobil menambah suasana menjadi lebih mencekam. Aku menarik nafas panjang dan menoleh ke arah Keen dengan dramatiknya. Dia melihatku, wajahnya benar-benar kaku sekarang, tak seperti yang sebelumnya.

"Aku—"

Dia merundukkan kepalanya dengan pandangan sesekali ke arahku dan ke arah jalan lagi.

"Aku lactose intolerant." jelasku dan kemudian menyandarkan tubuhku dengan menghembuskan nafas lega.

"Kau lactose intolerant?" tanya Keen dengan nada tak percaya dan kemudian tertawa. "Aku pikir kau ingin memberitahu sesuatu yang lebih serius dari fakta kau seorang lactose intolerant."

"Ya aku pikir itu lebih baik diinformasikan sebelum kau melihat aku berlari ke kamar mandi karena tak sengaja meminum susu atau hal semacamnya." jelasku.

Tentu aku berbohong, mana mungkin aku bilang padanya jika aku adalah seseorang yang membawa penyakit mematikan di kepalaku kemanapun aku melangkah, terlebih aku tidak akan membiarkan orang lain memberi tahu ayahku tentang penyakit parahku ini.

"Kau tahu, ini sudah terlalu malam dan aku yakin tak ada dokter yang akan melayani seorang lactose intolerant sepertiku. Jadi bisa kau antar aku balik ke dorm saja?" tanyaku sembari melihat dia.

Keen tertawa pelan. "Kau tidak ingin bertemu ayahmu—well, secara harfiah ayah kita. Kami sekarang berada di Denver."

Aku berdeham. "Aku yakin ingin menjaga telingaku tetap perawan malam ini dan mungkin seterusnya."

Keen tetrawa kembali, tetapi kini lebih kencang dari sebelumnya. "Kau benar-benar seperti yang di katakan nenekmu."

Aku mengeritkan dahiku dan menoleh ke arah Keen. "My grandma said that?" tanyaku dan aku tahu itu merupakan kebohongan besar.

"Ya... aku dan nenek sering bebicara, dia orang yang keren dan dia bercerita banyak tentangmu juga." jelas Keen seperti seorang anak kecil yang sangan mengidolakan tokoh superhero besar.

Aku melipat kedua tanganku dan mendengus pelan sambil tertawa. Aku menggeleng kepalaku dan mendecak. Jujur saja itu sangat sulit dicerna di otakku, entah karena itu adalah hal yang tidak mungkin atau karena otakku sudah tercemar oleh limbah kanker—aku tak tahu. Perlahan tawaku mereda dan aku terdiam. Aku menatap Keen yang masih fokus melihat jalanan di depan kami.

"Keen, nenek bercerita tentangku. Apa dia mengatakan jika—"

Keen menoleh dan dia membuka mulutnya lebar. Oh tidak, dia sudah tahu tentang penyakitku sebenarnya. Jadi percuma saja jika aku mengatakan alasan tadi untuk menutupi semuanya. "Oh... ya... tentang itu. Aku tahu." balasnya dan terdapat jeda di anatra kami berdua. Itu jeda yang sangat lama. "Um... aku tahu kau pernah kecelakaan dan kau juga kehilangan ibumu. Pasti itu sangat berat."

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang