Babak Dua: Kamping

26 2 1
                                    

D E V O N N A P O V

"Shit...!" Aku menggumam sambil melihat-lihat isi tasku. "Di mana aku taruh lotion itu. Aku tidak siap digigit hewan menjijikan di hutan nanti." Tukasku.

Aku kembali mengacak-acak seisi tasku dan dorm hanya untuk mencari obat penghilang serangga dan akhirnya aku temukan, obat itu bersantai layaknya di pantai saat musim panas berlangsung. Bermandikan cahaya lampu meja yang ada di dekat tempat tidurku. Memalukan, aku memang benar-benar memalukan. Sedekat itu denganku dan aku tak melihatnya, bahkan lebih parahnya aku melupakan itu ketika jarak kami hanya-entahlah, seinci mungkin saja. Sepertinya yang dikatakan ayah tentang otakku yang terlalu berisi banyak sekali pikiran sehingga aku mengalami penuaan dini di balik wajah imutku semulus bokong bayi ini benar.

Aku memasukkan kembali semua barang bawaanku ke dalam tas, "Sial, aku lelet sekali." Ejekku kepada diriku sendiri selagi memasuki bra dan celana dalam kembali ke dalam ranselku. Terdengar dua ketukan dari pintu dorm. Aku mengerang kesal karena ketukan itu tampak memaksa sekali agar aku perhatikan. "Okay... aku mendengar itu semua, bisa hentikan?? Aku sedang memasukkan keperluanku."

"Dev, apa kau butuh bantuanku???" Tanya suara Ryan dari luar.

Aku membuka mataku lebar dan melihat ke arah pintu, "Ryan... ." Aku segera berlari dan membuka pintu untuknya. Ryan berdiri dengan tas selempang berwarna coklat dan juga jaket coklat yang ia kenakan. Dia juga memakai dalaman berupa kemeja denim biru dan jujur saja dia terlihat sangat manis, terlebih dengan rambut blonde ash-nya

"Kenapa pangeran selalu datang di saat yang tepat?" Tanyaku sambil tersenyum.

"Mungkin karena itu merupakan harapan terdalam yang diucap oleh Tuan Putrinya dan hanya Pangeran yang dapat mendengarnya." Jelas Ryan.

Aku terkikih pelan, "Kau benar, aku butuh bantuanmu. Silahkan masuk." Jelasku.

Kami berjalan ke dalam dorm pasca tragedi kehilangan obat pengusir serangga. Di belakangku, Ryan mendecak melihat semua kekacauan ini dan aku hanya bisa tertawa saja. Ryan berhenti di dekat ranselku yang berisi sekali banyak kekacauan yang aku paksakan masuk ke dalam ransel pas-pasan itu.

"Woah, apa saja yang kau bawa huh?" Tanya Ryan dan dia kembali melihat-lihat isi tas ranselku.

Dia menarik keluar bra-ku dan melihatku, "Letakan itu, stupid." Kikihku.

Ryan tersenyum dan kemudian memasukan kembali bra-ku ke dalam ransel. Dia juga merapihkan beberapa lipatan baju, sial... aku baru saja dibuat malu lagi. Dia lebih perempuan dibandingkan diriku ini. Lihat saja cara dia melipat, sabar sekali dan rapih seperti ibumu menyetrika. Tapi mungkin saja itu alasannya kenapa aku seperti perempuan yang gak tahu apa itu kerapihan, aku tak pernah punya kesempatan untuk tinggal bersama dengan orang tuaku.

"Isi ranselmu delapan puluh persennya makanan, kau sangat sedikit sekali membawa pakaian ganti." Tukas Ryan.

"Hei, jangan menghakimi aku. Seluruh pakaian yang aku bawa adalah seluruh bajuku di lemari-hampir semuanya." Jelasku sambil bertolak pinggang. "Terlebih makanan itu sangat penting, kau tak bisa bertahan hidup di alam liar dengan hanya makan dedaunan. Aku yakin vegan pun tidak akan tahan dengan memakan tumbuhan liar saja di hutan."

"Kita berkemah di sana selama empat hari tiga malam, baju ini bahkan tidak cukup untuk dua hari. Terlebih berangkatnya saja dua puluh satu jam, total semuanya hampir seminggu lebih." Jelasnya dan kemudian dia bangkit berjalan mendekati diriku. "Terlebih, kita juga ingin berkemah... bukan berlari dari zombie apocalypse!" jelasnya.

"Tidak jika kau tidak mandi." Balasku.

Ryan mengeritkan dahinya geli, "Ughh... kau ini yakin seorang perempuan Dev?" Jelasnya dan kami berdua terkikih. "Kau harus membawa jaketmu dan setidaknya scarf, aku yakin malam hari di sana akan begitu dingin!"

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang