Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu

59 2 4
                                    

Aku mendorong pintu cab dan melempar juntaian scraf rajut kebekang leherku sebelum memasuki gedung rumah sakit. Tidak ada yang berbeda, semua terlihat sama—mungkin alat yang ada di pojok sana, terakhir kali aku ada di sini, alat itu masih belum ada. Tidak ada keraguan di dalam hidupku bahwa aku dan rumah sakit mempunyai hubungan yang spesial, bahkan aku menghabiskan setengah masa kecilku di dalam sini. Bermain dengan orang-orang yang bernasib sama— kurang beruntung sepertiku.

Aku langsung melangkah mendekati meja resepsionis dan mendaftarkan diriku untuk menjadi tamu kembali setelah sekian tahun lamanya untuk bertemu seseorang, katakan saja bahwa aku akan bertamu di rumah teman lamaku. Petugas memberikan aku sebuah perangkat alat elektronik di mana di dalamnya terdapat sebuah formulir pendaftaran yang isinya tidak lain seperti kertas biodata yang sering kalian tulis di buku diary kalian— kecuali tanpa makanan atau apapun yang bersangkutan tentang favorite di akhir kalimatnya.

"Terakhir kali aku ke sini, aku masih harus menulis dengan pena." Ucapku sembari mengetik beberapa informasi tentang diriku di perangkat elektronik itu.

Petugas itu melihatku sambil tersenyum. "Kita mempunyai banyak hal yang tak bisa kita hindari di dunia ini dan salah satunya adalah perkembangan zaman."

"Aku setuju denganmu. Ini dia, aku sudah selesai." Balasku dan mengarahkan perangkat elektronik itu kepada dia.

"Baiklah... silahkan duduk di ruang tunggu. Perawat akan memanggil namamu."

"Thank you." Balasku dan kemudian aku berjalan menuju kursi kosong yang ada di ruang tunggu.

Cahaya lampu flouresence yang berada di atas menerangi ruangan tunggu dan walaupun begitu, keadaan ruang tunggu ini tetap terlihat suram dan dingin. Aku menghembuskan nafas menuju kepalan tangan yang sudah berada beberapa sentimeter saja jaraknya dari mulutku. Aku menggigit bibirku dan menggerakkan kakiku seperti seseorang yang gundah dan gusar.

Aku memejamkan mataku dan membayangkan jika semua hal yang aku tinggalkan dibelakang kembali menghampiriku. Nafasku bergetar, suasana kembali menjadi dingin, seperti memasuki dunia mimpi ketika aku sepenuhnya sadar. Cahaya putih yang terang itu mendekati bagaikan kereta, membuat seluruh tubuhku seperti jatuh ke atas aspal berlapis es di musim dingin menjelang Natal.

"Spance, duduklah di sini." Suara dari seorang wanita yang kembali menarik dirirku keluar dari lamunan mimpi burukku.

Aku menoleh ke arah wanita itu. Rambut pirang panjang sedikit bergelombang, make-up yang tidak terlalu tebal, bibir berlapis lipstick pink sedang sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. Tak lama kemudian seorang lelaki muda datang menghampirinya. Dia mempunyai rambut brunette keriting pendek, matanya biru susu dan kami sempat bertatapan beberapa saat sebelum dia duduk di samping wanita itu—dan berarti dia duduk di sebelahku.

Aku terus melihat mereka saling berbicara sesuatu yang tidak terlalu aku mengerti. Well, ada beberapa istilah kedokteran yang aku mengerti, tetapi selain itu tidak lagi. Lelaki itu sadar aku melihatnya, matanya sedikit disipitkan dan aku sadar dia mempunyai warna bibir cukup merah.

"Apa kau mempunyai masalah dengan kami?" tanya dia dengan nada tidak bersahabat.

Aku mengeritkan dahiku. Wanita yang ada di sampingnya memukul lengannya pelan dan menaikkan kedua alisnya seakan mengancam lelaki muda yang bernama Spance itu. "Oh... maafkan aku."

Aku tersenyum. "No, my bad... ." Balasku.

Kemudia kedua orang itu kembali berbincang. Aku melihat wajah perempuan itu dengan teliti, aku dapat merasakan di atas kulitku bahwa aku mengenalnya. Aku mencoba mengingat dengan baik mengapa sosok perempuan asing ini sangat tidak begitu asing di dalam pikirianku. Setelah beberapa saat menggali setiap kuburun yang menyimpan memori-memori penting di otakku, akhirnya aku sadar bahwa dia adalah perempuan yang sama yang aku temui bersama ayahku di bioskop dulu.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang