Babak Dua: Montana

22 2 1
                                    

Dengan wajah yang begitu bahagia, Devonna menatap dirinya sendiri di cermin. Senyumannya melebar dari sudut bibir kiri dan kanannya. Rasa bahagia kembali kepangkuan kampung halaman membuatnya senang tak karuan, terlebih bertemu dengan ayahnya dan kini dipikirannya dia siap memberi tahu apa yang terjadi dengan dirinya, penyakit ini, ayahnya harus tahu, harus. Seharusnya kini Devonna merasa gugup dan khawatir, tetapi entah mengapa rasa senang malah memuncakki tangga pertama perasaannya saat ini, ditambah ketika Devonna sadar betul jika dia juga harus bertemu neneknya yang sudah membencinya dan mengutuknya dari lahir hingga kemungkinan nanti dia mati.

Devonna berjalan mendekati kasurnya, dia duduk dipinggir. Di tangannya kini terdapat ponsel yang menunjukkan pukul lima dini hari. Ibu jemarinya kini menari di atas keyboard virtual layar sentuh ponselnya. Kotak pesan yang awalnya kosong, kini berisi kalimat panjang lebar yang terus menerus muncul selama ibu jemarinya menari dengan anggunnya.

"Olivia, aku harus pergi mengunjungi ayahku di Montana dan aku sepertinya akan izin selama seminggu. Tapi aku mohon bilang saja aku sakit kepada guru jika mereka memang bertanya padamu. Aku akan memastikan bagasi pesawatku cukup untuk membawakan oleh-oleh dari Montana untukmu. Aku benar-benar minta tolong. Terima kasih."

Dan kirim. Kini pesan singkat yang setengah panjang itu pasti sudah sampai di kotak pesan ponsel Olivia yang kemungkinan besar sekarang ada di nakas sebelah tempat tidur perempuan tersebut. Devonna menekan tombol kunci dan memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Dia lanjut memasukkan barang-barang bawaannya ke dalam tas.

"Devonna!!!" Seru suara Joey dari luar.

Devonna berlari ke ruang depan dan mengintip dari balik tirai jendela untuk memastikan bahwa orang yang meneriaki namanya dari luar dorm benar-benar lelaki tinggi kurus itu. Dengan rambut yang terkuncir gaya man bun rapih, Joey sudah berada di depan dorm Devonna dengan menaiki motor kesayangannya. Devonna tidak ragu lagi dan dia segera mengambil tasnya dan bergegas menemui Joey yang sudah menunggunya.

Joey, di atas motornya, terlihat sedang menatap kaca spion dan merapihkan juntaian rambutnya yang tidak terlalu panjang untuk dikuncir itu.

"Apa tidak masalah aku menganggu acara bercerminmu yang sangat khidmat ini?" Ucap Devonna dan Joey menoleh, kini dia dapat melihat senyuman besar yang membentang di wajah perempuan itu.

"Aku dapat melihat dengan jelas kau semangat sekali hari ini." Jelas Joey dengan senyuman licik dan mata yang sedikit menyipit. Mereka menatap satu sama lain beberapa detik sebelum akhirnya Joey memukul tangki motornya dan terkikih pelan. "Baiklah, hop on... kita tidak inginkan ketinggalan pesawat bukan?"

"Itu ada di dalam list terakhirku untuk hari ini." Jelas Devonna dengan semangat. Dia menaiki motor Joey. "Ayo kita segera berangkat!"

"Aku tahu kau begitu bersemangat, tapi jangan lupa untuk memakai ini." Jelas Joey memberikan helm model jadul kepada Devonna. "Aku yakin kau tidak ingin kita bertemu dengan kakakku nanti."

Devonna terkikih dan segera memakai helm itu. Joey mengintip dari kaca spionnya, melihat Devonna memakai helm pemberiannya. Senyuman nyaris tergambar di wajahnya yang tirus.

"Ingin aku bantu memakainya?" Tanya Joey menoleh sedikit ke belakang.

Devonna masih membetulkan posisi helmnya, "Tidak aku bisa melakukannya sendiri."

Joey terkikih dan dirinya langsung berputar kebelakang, membuat Devonna sedikit terkejut dan memasang wajah kaku. Joey mengatur pengaman helm tersebut dengan perlahan, memanjangkannya agar dapat terpasang dengan baik.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang