Babak Dua: Jamuan Makan Malam

33 2 2
                                    

D E V O N N A   P O V

Kami terjebak di lampu merah yang begitu padat, suasananya jauh lebih ramai dari pada sore tadi. Tubuhku bersandar di punggung Joey dan dia tidak begitu keberatan aku menjadikan punggungnya sebagai sandaran. Aku memejamkan mataku dan di antara hiruk pikuk ini, aku dapat mendengar alunan musik jadul yang menari balet di dalam relung telingaku. Aku membuka mataku perlahan, melihat sebuah mobil volvo tua yang berhenti di samping kiri kami. Duduk di sana dengan santai seorang lelaki tua yang memakai sweater vest berwarna biru dengan motif kotak dan juga flat cap di kepalanya. Alunan musik jadul itu mengalun dengan volume pelan, tetapi terasa begitu kontras di antara hiruk pikuk ini.

Lampu lalu lintas kemudian menyala hijau. Joey menancap gasnya kembali dan kini dengan perlahan kami melaju meninggalkan kebisingan dan hiruk pikuk kota seperti bunga dandelion yang terbang terbawa angin kencang. Aku melirik ke arah kaca spion. Terlihat wajah Joey di sana.

"Joey... dapatkah kau mendengarku?" tanyaku.

"Ya dan itu sangat jelas secara kau berbicara di depan telingaku." tukasnya.

Aku terkikih. "Joey... aku ingin bertanya sesuatu denganmu."

"Tentang apa? Aku bersumpah jika ini tentang matematika, aku tidak akan bisa menjawabnya."

"Tidak... lagi pula mengapa aku bertanya tentang matematika." balasku. Aku menarik nafas panjang. "Mengapa kau seperti ini? Aku tahu sebagian kisahmu dari Jackson dan Ryan, tetapi aku belum pernah mendengar secara langsung darimu. Bagaimana ceritanya?"

"Aku hanya mengalami puber saja." jawabnya.

"Hey, aku serius. Aku sudah memperkenalkanmu pada ibuku sebagai temanku dan teman harus saling berbagi, jadi tidak ada salahnya berbagi." jawabku.

"Jawabanku akan sama seperti yang dikatakan oleh Ryan ataupun Jackson. Semua karena ayahku dan juga ibuku. Joey yang dulu itu lemah dan tidak kuat, aku ingin melindungi ibuku dari ayahku, aku ingin melindungi ibuku dari lelaki seperti ayahku. Aku sadar bahwa aku harus lebih kuat dari sebelumnya dan kini aku seperti itu, hanya saja lambat laun aku tahu... aku melewati batas yang seharusnya." ucapnya.

"Tidak ada kata telat untuk berubah menjadi baik." Lirihku.

"Lalu bagaimana denganmu?" Tanya dia.

"Ceritaku sangat panjang, aku yakin kau tidak suka mendengarnya."

"Tidak akan sakit untuk mencobanya." ucap Joey. "Tetapi tahan dulu, karena kita sudah sampai."

Laju motor semakin lama semakin lambat hingga kami kini berada di depan halaman salah satu rumah sub-uraban di komplek perumahan ini. Aku langsung turun dari atas jok motor dan melepas helm yang aku pakai. Arah pandang mataku langsung tertuju kepada bendera Amerika yang berkibar dengan gagah di tiang paviliun rumah tersebut.

"Ini rumahmu?" tanyaku tanpa melepaskan sama sekali pandangan dari rumah itu.

"Kita berhenti di sini karena satu alasan dan kau baru saja mengatakannya." jelasnya kemudian dia melepaskan helmnya dan menaruh helm itu di atas jok motornya. Rambut hitamnya berkibas dengan sungguh mempesona. "Ayo masuk."

Kami berjalan bersamaan menuju pintu masuk. Joey membuka pintu tersebut begitu saja, dia menaruh kunci motornya di gantungan dekat dengan pintu. Jemari tangannya bergerak melalui setiap helai rambut panjang hitamnya yang sedikit berantakan itu.

"Mom... aku pu—"

Perkataan Joey terhenti ketika kami melihat ibunya sedang berada di dapur bersama dengan seseorang laki yang mungkin berumur sebaya dengan beliau. Rambut lelaki itu terlihat hitam, tetapi ketika cahaya lampu mendarat di permukaannya itu terlihat coklat. Matanya begitu biru, tetapi aku masih ingin bersikeras bahwa mata ayahku yang paling bagus, tetapi jika soal bulu mata... ayahku mungkin kalah karena lelaki itu mempunyai bulu mata begitu lentik. Lelaki tersebut memakai apron putih yang menutupi baju biru tuanya. Di tangan dia terdapat kalkun yang baru saja keluar dari oven dengan warna kecoklatan berkilau dan aroma yang sedap.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang