Babak Dua: Untuk terakhir kalinya

Start from the beginning
                                    

"Akan aku pikirkan itu, terima kasih banyak." Jawabku dan kemudian aku mengambil tasku.

Aku sempat menoleh sekilas dan melihat Joey yang begiotu sumringah dalam mengerjakan ujiannya. Aku tersenyum tipis sebelum melangkah keluar dari dalam kelas. Ketika berada di depan pintu kelasku, aku berdiri di depan koridor yang panjang dan sepi, tidak ada siapapun di sini. Terkadang hanya ada suara batuk seseorang dari dalam kelas dan menggema di sepanjang koridor. Aku berjalan keluar dari gedung sekolah, mengarahkan kakiku menuju taman belakang sekolah dan duduk di sana. Menatap danau yang besar tanpa kedatangan angsa putih seperti biasa.

"Hey... tidak baik melamun sendirian." ucap Joey sembari memegang pundakku. Aku menoleh ke arahnya, melihat dia tersenyum dan kemudian berjalan memutari kursi yang aku duduki. "Terima kasih atas bantuannya."

Aku tersenyum. "Sama-sama."

Joey duduk di sebelahku. "Kau tahu, aku tidak habis pikir jika kita masih musuhan... aku mungkin tidak selamat di dalam sana."

"It's not true... . Aku akan tetap menolongmu." jawabku sembari menaikkan salah satu alisku.

"Kau tahu, kau sangat berbeda dengan orang genius lainnya. Maksudku, jika kau adalah Jackson... kau tidak akan memintaku untuk memberi tahu murid yang lainnya." ucap Joey.

"Ah... aku merasa bersalah jika tak mengetakan ini." balasku dan kemudian melihat Joey. "Well... sebenarnya aku tak terlalu suka melakukan itu. Hanya saja aku mengerti bagaimana rasanya bingung akan sesuatu, sekaan kau terjebak dalam kegelapan tak tentu arah dan dan tidak ada seseorangpun yang dapat menolong, jadi ya... itu tidak masalah... I guess... ."

Setelah perkataan itu, kami terdiam dengan perasaan canggung. Muncul perasaan sedikit berasalah dari dalam diriku, seharusnya aku tak perlu mengatakan itu untuk membalas seusatu yang ringan. Aku merundukkan kepalaku dan berharap seseorang bisa memecah keheingan ini, pada akhirnya, doa dadakan ku terjawab dengan sempurna. Olivia datang bersama dengan Ryan. Aku dan lelaki itu tentu sama-sama terkejut ketika melihat satu sama lain, hanya saja aku mencoba untuk tetap telrihat tenang di depannya.

"Hai... ." sapa Ryan dengan nada sedikit canggung dan aku hanya membalasnya dengan senyuman saja.

"Baiklah, kita sudah berkumpul, bagaimana kalau kita segera jalan. Kalian bisa menunggu di sini selagi aku mengambil mobilku." ucap Olivia dengan nada bahagia.

"Uh... aku membawa motor, jadi sepertinya aku akan naik motor saja." Tukas Joey.

"Sepertinya aku ikut bersama Joey saja." jelasku dengan senyuman sambil melihat mereka berdua bersamaan.

Aku dapat merasakanbahwa sekarang Joey sedang menatapku dengan bingung, tetapi aku memilih untuk tidak memperdulikannya.

Olivia menatapku dan Joey dengan aneh. "Baiklah, aku akan mengirimkan alamatnya kepada Devonna. Sampai ketemu nanti, okay?"

Dia pergi bersama Ryan, ketika mereka sudah berada cukup jauh dari kami berdua, aku menghela nafas panjang.

"Kenapa kau selalu menghindar dari dia, Dev?" Tanya Joey.

"Karena itu adalah yang terbaik untuk kami berdua." Jelasku dan kemudian melihat Joey. "Ayo kita harus segera bergegas."

—oOo—

"Kau yakin Devonna, kita ke arah sini?" tanya Joey dengan volume sedikit kencang.

Aku melihat layar ponselku yang menampilkan gambaran maps dan kemudian menatap sekitar. "Sepertinya."

"What?!" tanya Joey dengan nada terkejut. Dia kemudian meminggirkan motornya. Dia sedikit memutar tubuhnya dan membuka kaca helmnya. "Coba biar aku lihat." pintanya dengan tangan mengarah kepadaku.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Where stories live. Discover now