Babak Dua: Untuk terakhir kalinya

Start from the beginning
                                    

"Baiklah, kalian boleh mengerjakannya."

Aku segera membali kertas ujianku, menatap dengan aneh setiap soal. Ini benar-benar kelewatan manusiawi. Aku coba melihat reaksi sekelasku, mereka tampak jijik dan sedetik kemudian hampir seluruhnya menatapku. Aku membuka mataku lebar dan langsung mengalihkan pandanganku. Ya itu adalah sebuah tatapan dengan penuh harapan Rasa kini pundakku sangat penuh dengan beban, aku tak bisa menolak teriakan minta tolong mereka, walaupun aku sebenarnya tidak menyukai ini sama sekali. Aku menarik nafas panjang dan mencoba untuk mengerjakan soal-soal di sana dengan semampuku.

Terkadang keinginaku untuk cepat meninggalkan dunia ini, selain rasa sakit karena rasa muakku kepada fisika.

Tapi itu bukan berarti aku merendahkan semua fisikawan, mereka luar biasa. Mungkin hanya aku saja yang masih terlalu bodoh.

Setelah sejam berlalu, aku sudah mengisi seluruh kertas jawabanku. Aku melihatnya sekilas dan tersenyum bangga bahwa aku bisa mengerjakan ini semua walaupun aku tak tahu pasti apakah aku menulis jawaban yang benar atau hanya melantur saja seperti pidata Noah Centineo di ajang penghargaan anak kecil kemarin.

"Dev... Dev... ." bisik suara seseorang di belakangku dan aku sudah sangat yakin itu Joey.

Aku menoleh dan melihat Joey kini melotot kepadaku, matanya terbuka lebar dan terlihat begitu menyeramkan—jujur saja. Dia mengetuk-ngetuk pensilnya di atas lembar jawabannya.

"Devonna, kamu kenapa melihat kebelakang?" tanya guru kami.

Aku menoleh ke depan, melihat guru kami yang kini menatapku dengan tajam. "Aku ingin meminjam penghapus." Jelasku dengan senyuman paksa.

"Tidak ada pinjam meminjam. Sekali lagi ada yang seperti ini, kertas kalian langsung berada di atas meja saya!" tegas guru itu.

Aku menaikkan kedua alisku, geez... slow down ma'am... .

Aku membetulkan posisi dudukku dan segera menatap kertas soalku. Aku mengisi soal tersebut dengan pensil mekanikku. Tentu, aku tidak menulis jawabanku dengan cara yang  sama tertera di lembar jawabanku. Aku tidak ingin memberikan resiko lagi pada diriku sendiri untuk dipanggil oleh kepala sekolah karena masalah sepele seperti plagiat seperti ini. Setelah kertas itu terisi penuh, aku menuliskan pesan kepada Joey agar dia juga membaginya dengan anak-anak murid yang lain. Aku kemudian menatap ke depan, melihat guruku tampak fokus dengan ponselnya dan sesekali dia tertawa. Aku menoleh ke belakang dan mengarahkan soalku kepada Joey.

Terima kasih kepada Tuhan karena menciptakan lengan Joey yang cukup panjang. Dia bisa menggapainya dengan mudah.

"Bu." Panggilku sembari mengangkat tanganku. "Aku sudah selesai." Jelasku.

"Well, cepat sekali... Nona Lawrance." Tukas guruku.

Aku bangkit berdiri dan segera berjalan mendekatinya. Ini adalah langkah bagiku untuk membuat pengalihan agar teman-temanku bisa sedikit merasa lega. "Ya... soalnya susah, tetapi aku pernah menghadapi yang lebih susah dari ini semua."

"Woah... kau percaya diri sekali, Devonna." Jelas guruku dan dia melihat jawabanku. Senyuman tergambar di wajahnya. "Ngomong-ngomong kemana kau akan melanjutkan kuliahmu?"

Aku mengeritkan dahiku.

Tetapi nyatanya, mendengar pertanyaan itu membuatku merasa sedih.

Aku tidak punya harapan...

Andai aku bisa menjawab itu kepadanya. Aku menarik nafas panjang dan tersenyum. "Aku belum memastikannya."

"Kau harus mulai memikirkannya Devonna. Aku tahu kau anak bermasalah, tetapi dengan kemampuan otakmu seperti ini, aku pikir kau tidak akan menjadi masalah pada nantinya. Kejarlah beasiswa seperti yang kau dapatkan sekarang, buat ayahmu bangga."

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Where stories live. Discover now