43

35.1K 1.2K 57
                                    

Malam yang panjang itu berhasil Syanin lewati sendiri. Semalam ia memapah suaminya yang setengah sadar hanya sampai sofa. Rafka masih terlelap di atas sofa ruang tamu dan Syanin membiarkan itu sampai lelaki itu terbangun sendiri. Pagi ini ia merasa lebih segar dari pada dirinya yang kacau semalam. Jika Rafka batu, dirinya juga tidak boleh menjadi batu. Syanin harus mengalah saat berhadapan dengan Rafka saat lelaki itu terbangun.

Rafka terbangun dengan kepala berputar tepat pukul sebelas siang. Keluhan lelaki itu terdengar sampai telinga Syanin yang sedang memasak makan siang di dapur. Masih dengan celemek di tubuhnya, Syanin menghampiri suaminya dengan segelas air putih dan obat pereda sakit kepala. Rafka tentu terkejut mendapati istrinya yang dengan sigap menghampirinya.

"Pelan-pelan, Mas." ucap Syanin saat membantu suaminya menegak air dari gelas.

Suara mesin mobil yang dimatikan kemudian disusul ketukan pintu menginterupsi keheningan di antara pasangan suami-istri yang sedang perang dingin itu. Suara Fadhlan dan Fatma yang Syanin kenal membuat perempuan itu berpikir dengan cepat. Syanin beranjak dari posisi jongkoknya di samping sofa kemudian melipat selimut rajut yang dipakai Rafka tidur semalam.

"Mas, mending mandi dulu. Biar aku yang bukain pintu buat Mama sama Papa." ucap Syanin begitu tenang.

Lidah Rafka benar-benar kelu hanya untuk sekedar mengucapkan kata maaf pada istrinya yang terlihat begitu tenang siang ini. Dengan langkah pelan akhirnya Rafka menuruti Syanin untuk segera membersihkan tubuhnya yang masih dibalut pakaian semalam. Melihat dirinya bisa selamat sampai di rumah dan terbaring di atas sofa, sepertinya seseorang mengantarnya pulang. Ia hanya berharap kejadian semalam tidak beredar di media walaupun rasanya sangat mustahil.

Mengambil kerudung kaus berwarna coklat yang tergantung di gantungan yang dipasang dekat pintu garasi, Syanin membukakan pintu dan menyambut kedatangan mertuanya dengan senyum hangat. Rupanya Fadhlan dan Fatma sudah kembali dari Singapura. Syanin tak lupa menawarkan keduanya untuk ikut makan siang. Melihat kehangatan yang tetap Syanin berikan kepada kedua orang tuanya, Rafka kembali dirundung rasa bersalah. Tidak salah lelaki itu menikahi Syanin yang rupanya bisa menghadapi sikap kekanakannya.

"Mas, lauknya mau apa aja?" tanya Syanin yang sudah menyendokkan nasi ke piring suaminya.

"Semuaya aja." balas Rafka kembali ke dunianya.

Obrolan ringan menemani makan siang mereka. Rafka mencoba sebisa mungkin meminimalisir rasa canggungnya pada Syanin. Selepas makan berat, Syanin mengajak Fadhlan dan Fatma ke ruang tengah untuk menikmati hidangan penutup yang ia coba buat tadi pagi. Tiramisu yang baru saja Syanin keluarkan dari lemari pendingin dihidangkan bersama teh hangat.

"Ma, Pa." panggil Rafka yang langsung mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, "Rafka sama Syanin punya kabar bahagia." ia menggenggam telapak tangan Syanin yang duduk di sebelahnya, "Mama sama Papa bakal punya cucu sebentar lagi."

Syanin tidak menyangka bahwa Rafka akan secepat ini memberi tahu kedua orang tuanya. Ia tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Rafka saat ini. Lelaki itu terlihat sangat siap menjadi seorang ayah di matanya. Sepertinya Syanin akan mengajak Rafka berbicara selepas kepergian Fadhlan dan Fatma. Ia harap Rafka tidak berubah pikiran.

"Kamu hamil, Syanin?" tanya Fatma pelan dengan wajah yang terlihat sangat bahagia.

Perempuan yang duduk di sebelah Rafka itu mengangguk pelan, "Iya, Ma."

"Selamat, Sayang." Fatma menghampiri Rafka dan Syanin.

Fadhlan terlihat sama bahagianya dengan Fatma. Hati Rafka menghangat. Semalam dirinya cukup terkejut dengan kehamilan Syanin yang begitu cepat. Jujur reaksinya terlalu berlebiha. Banyak hal yang dirinya dan Syanin persiapkan untuk menjadi orang tua yang baik. Namun Rafka pikir, semua itu ada proses belajarnya.

Selepas ashar, Fadhlan dan Fatma pamit. Rafka dan Syanin berjalan bersisian di belakang Fadhlan dan Fatma menuju pintu. Keduanya berhenti di teras ketika orang tua mereka melanjutkan langkahnya menuju mobil. Melambaikan kedua tangan ke arah mobil yang membawa Fadhlan dan Fatma menjauh dari rumah mereka, Rafka segera beranjak masuk. Namun lengannya ditahan Syanin.

"Kita harus bicara." ucap Syanin sebelum menarik Rafka menuju ruang tengah.

Namun sebelum keduanya mengadakan obrolan serius, Syanin meminta waktu untuk membereskan ruang keluarga dan dapur. Piring-piring kotor perlu ia cuci terlebih dahulu. Saat melihat Syanin yang hampir selesai mencuci piring, Rafka mendekati istrinya.

"Aku minta maaf." ucap Rafka di balik punggung Syanin, "Harusnya aku bahagia. Tapi di pikiran aku masih banyak yang harus aku selesaikan sebelum menjadi orang tua."

Syanin mengelap tangannya yang basah pada handuk kecil di sisi wastafel. Ia membalikkan tubuhnya dan langsung berhadapan dengan Rafka yang sedang menunduk. Berjinjit sedikit, diraihnya leher Rafka ke dalam dekapannya. Rupanya Rafka menangis di pundaknya.

"Gapapa, Mas. Aku ngerti. Cepat atau lambat kita akan jadi orang tua. Jadi orang tua yang baik butuh proses belajar, kan, Mas? Kamu mau, kan, kita belajar sama-sama buat jadi orang tua yang baik buat calon anak kita?" tanya Syanin yang terdengar begitu tenang di telinga Rafka.

Rafka kembali berdiri dengan tegak kemudian mengangguk, "Ayo kita sama-sama belajar jadi orang tua yang baik buat dia." matanya menatap perut istrinya yang masih rata.

Kedua calon orang tua itu masih belajar memahami satu sama lain. Melalui ketegangan ini, keduanya sama-sama tumbuh. Manusia akan belajar dari kesalahannya dan akan tumbuh memiliki karakter yang baru ketika dihadapkan dalam suatu konflik. Syanin dan Rafka pun diberikan banyak waktu untuk belajar ketika keduanya dihadapkan dalam sebuah persoalan yang dipandang berbeda oleh keduanya.

"Semalem yang bawa pulang aku ke rumah siapa?" tanya Rafka begitu keduanya duduk bersisian di atas sofa.

"Aku." jawab Syanin.

"Hah? Serius?" tanya Rafka yang sepenuhnya lupa dengan kejadian semalam karena terlanjur tak sadarkan diri.

Syanin memutar bola matanya malas, "Jangan lagi-lagi, deh, kamu minum di sana."

"Ya ampun aku udah buat dosa banyak banget, dong, dari kemaren." gumam Rafka, "Maaf bikin kamu repot. Tapi jangan cape buat ngingetin aku kalo aku salah, ya, Sayang."

Syanin mengangguk dalam rangkulan suaminya, "Saling mengingatkan, ya, Mas."

Tamat.

Akhirnya bukuku yang kesekian selesai juga. Semoga aku dan kalian puas dengan penyelesaian cerita ini. Mohon maaf kalo ada kata-kataku yang menyinggung atau pun banyak kesalahan dalam penulisanku. Aku masih belajar dan mau belajar untuk menjadi lebih baik di tulisanku selanjutnya.

Makasih banyak yang udah sabar menunggu dan semangatin aku untuk menyelesaikan buku yang satu ini. Tanpa kalian, aku ga akan punya dorongan semangat untuk tetap berkarya. Makasih buat apresiasinya. Kalian hebat!

Minta tanggapan positif dan negatif dari kalian dong tentang tulisan-tulisanku sejauh ini. Tolong sampaikan pendapatmu dengan bijak. Terima kasih.

Get in touch with me,
ig: sitiayushabira
twt: shabeeraa_

Sampai jumpa di karyaku selanjutnya!

Love, Sha.

Deserve ThisWhere stories live. Discover now