18

11.1K 1.2K 10
                                    

Menuruti permintaan Dhani, akhirnya Syanin langsung pergi menuju rumah pamannya itu selepas jam kerja. Berhasil memarkirkan mobil putihnya di halaman rumahnya, Syanin langsung turun dari mobilnya melangkah menuju rumah Dhani yang tepat berada di samping rumahnya. Diketuknya pintu rumah yang sudah menjadi rumah keduanya itu. Kedatangannya iu langsung disambut oleh sang tante, Feni.

"Tante, aku mau salat dulu boleh, ya," izin Syanin pada tentenya yang langsung dibalas dengan anggukan.

Selepas menunaikan ibadah salat maghrib di musala kediaman pamannya itu, Syanin langsung beranjak menuju kamar Janne yang berada di lantai dua. Langkahnya berhenti ketika sampai di depan pintu kamar Janne. Ini bisa menjadi yang terakhir kalinya Syanin menginjakkan kaki di kamar Janne. Syanin menarik napas dalam sebelum kemudian mengangkat tangannya mengetuk pintu kamar Janne dengan pelan. Dipanggilnya nama sepupunya itu berkali-kali. Tidak juga mendapat sahutan dari sang pemilik kamar, Syanin akhirnya memutuskan untuk memutar kenop pintu kamar Janne. Janne ternyata tidak mengunci pintu kamarnya.

Saat berhasil membuka pintu kamar Janne, Syanin menemukan ruangan bernuansa warna pink dengan aksen putih itu benar-benar gelap. Ia menemukan adik sepupunya itu sedang berbaring di atas kasur dengan posisi memunggunginya. Perempuan yang sudah tumbuh bersamanya selama dua puluh lima tahun itu menyembunyikan diri di balik selimut berwarna pink-nya. Syanin melangkah masuk ke dalam kamar kemudian menyalakan lampu kamar. Ia mengambil duduk di atas kasur tepat di balik punggung Janne.

"Janne..." panggil Syanin mencoba meraih pundak adik sepupunya itu.

Masih tidak ada tanggapan dari Janne.

Syanin menghela napas. "Mbak nggak ada hubungan apa-apa sama Rafka. Kalau itu yang mau kamu dengar. Mbak nggak pernah bohong sama kamu, kan?"

Janne bangkit dari posisi tidurnya, masih membelakangi Syanin. Pundak Janne tampak mulai bergetar. Suara isak tangis mulai terdengar dari balik tubuh Janne. Ingin rasanya Syanin meraih Janne ke dalam pelukannya. Namun, entah kenapa, ia juga merasa tidak berhak. Selama beberapa saat, akhirnya Syanin membiarkan adik sepupunya itu menyelesaikan tangisnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk melukai Janne. Mendapati Janne yang benar-benar terluka dan itu karena dirinya, Syanin merasa kecewa dengan dirinya sendiri karena gagal melindungi Janne.

"Sakit banget, ya, Mbak," ucap Janne di sela isakannya yang mulai mereda.

Syanin menggeser tubuhnya mendekat pada Janne. Disentuhnya pundak perempuan itu kemudian diusapnya dengan pelan. Syanin melakukannya tanpa mengucapkan satu patah kata. Sebenarnya, Syanin juga tahu apa yang Janne butuhkan. Janne membutuhkan seseorang untuk membagi keluh kesahnya. Namun, di situasi seperti ini, tentu bukan dirinya.

"Selama aku deket sama cowok, aku nggak pernah ngerasa dihargai sama mereka." Di tengah isaknya, Janne mengutarakan isi kepalanya pada Syanin.

Syanin masih diam saat Janne melanjutkan kalimatnya.

"Rafka orang pertama yang bikin aku ngerasa dihargai sebagai perempuan. Aku milih bertahan untuk Rafka walaupun dia juga nggak ngasih kejelasan atas hubungan kita karena aku bahagia, Mbak. Rafka bikin aku ngerasa bahwa aku perempuan satu-satunya yang akan dia bahagiakan. Bahkan, dia pergi dengan cara yang sangat sopan. Aku bisa apa, Mbak, kalo dia udah memantapkan hati sama pilihannya yang bukan aku. Rafka baik banget sampe aku nggak rela dia pergi dari aku, Mbak," lanjut Janne tanpa mau menoleh ke arah Syanin yang kini duduk tepat di sampingnya itu

Janne hanya punya satu tempat paling nyaman untuk membagi ceritanya, yaitu Syanin. Bahkan dengan cerita menyakitkan yang melibatkan Syanin di dalamnya, Janne masih bisa bercerita dengan tenang pada kakak sepupunya itu. Ada kehangatan yang selalu bisa Janne rasakan ketika bersama Syanin.

"Mbak tau kalo aku sama Rafka sempet jaga jarak? Aku turutin. Dia bilang dia nggak akan main-main sama aku. Dia lagi cari pasangan seumur hidup, Mbak. Dan aku tau seberapa besar langkah yang akan dia ambil." Janne mengambil napas dalam sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "Kemarin, aku dapat penjelasan yang sangat jujur dari Rafka. Nama Mbak disebut waktu aku desak dia kalau ada seseorang yang udah ngisi hatinya. Rafka suka sama kakakku sendiri. Aku juga bukan orang bodoh yang bakal terus bertahan ketika aku liat mata Rafka seyakin itu waktu nyebut nama Mbak. Dia minta maaf berkali-kali untuk itu. Aku coba ikhlas, tapi sampe sekarang rasanya masih sakit banget, Mbak."

Syanin bisa melihat air mata kembali membasahi pipi Janne. Kedua lengannya langsung bergerak melingkari tubuh Janne yang benar-benar rapuh itu. Syanin masih tidak mengucapkan satu patah kata pun dari bibirnya. Ia tahu, Janne hanya ingin didengar. Kata-katanya pun sepertinya tidak akan membuat Janne merasa lebih baik. Dan entah kenapa, Syanin juga merasa bersalah walaupun dirinya juga tidak menyimpan rasa apa pun pada Rafka. Diusapnya punggung Janne dengan pelan untuk menenangkan. Detik berikutnya, Syanin bisa merasakan pundaknya basah. Janne kembali terisak pelan.

"Aku nggak mau bertengkar sama kakakku sendiri cuma gara-gara cowok. Tapi aku juga butuh waktu untuk sembuh. Mbak bisa kasih aku waktu sendiri, kan? Kalo aku udah sembuh, aku pastikan Mbak adalah orang pertama yang tau," ucap Janne meregangkan pelukannya, menatap Syanin penuh rasa sakit.

Syanin mengangguk pelan mengerti. "Maafin, Mbak."

Tidak Syanin kira semuanya akan menjadi seperti ini. Adik perempuan satu-satunya yang selama ini tidak bisa jauh darinya itu kini meminta jarak. Syanin mengerti betul jika Janne butuh waktu untuk sembuh atas luka yang sebenarnya disebabkan oleh Rafka adalah karena dirinya. Syanin menutup pintu kamar Janne dengan rasa sesak. Beruntung karena Janne bisa bersikap dewasa. Karena jika tidak begitu, Syanin akan benar-benar kehilangan satu adik kecilnya itu. Betapa hebatnya pengaruh seorang Derafka Adhiraja untuk merusak hidupnya yang tenang dalam satu kedipan mata.

"Gimana?" tanya Dhani saat mendapati keponakannya itu menuruni anak tangga.

Syanin tersenyum. "Janne butuh waktu. Syanin pulang dulu, ya, Om."

Dhani mengangguk. Pria paruh baya itu tentu bisa menemukan lelah di wajah Syanin.

Setelah berpamitan dengan Dhani dan Feni, Syanin kembali ke rumahnya dengan pandangan kosong. Ia lelah, terlalu banyak emosi yang terkuras saat mendengar cerita Janne tadi. Lelaki berengksek bernama Rafka itu benar-benar telah memporak-porandakan hidupnya seharian ini.

Begitu sampai di rumah, Syanin menemukan sang ibu ternyata masih terbangun. Ibunya itu tentu khawatir dengan keadaan putrinya yang selama ini tidak pernah tersandung skandal sebesar ini. Melihat wajah Syanin, Alina langsung merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan putrinya itu dengan pelukan hangat. Pelukan nyaman yang sangat jarang Syanin dapatkan sejak kecil tapi selalu bisa membuatnya tenang dan merasa disayang.

"Anak Mama kuat, kamu pasti bisa lewatin ini," ucap Alina.

Pelukan Syanin pada sang ibu mengerat. Ibunya itu memang jarang menunjukkan kasih sayang pada anak-anaknya dengan sentuhan. Namun, sekalinya Syanin merasakan pelukan sang ibu, ia benar-benar bisa merasakan kenyamanan yang luar biasa. Syanin tidak ingin mengecewakan ibunya. Sang ibu telah memberikan dunia untuknya. Dan di saat dunianya hancur seperti ini, Syanin seakan mendapatkan kekuatan bahwa dunianya akan tetap baik-baik saja selama sang ibu masih berada di sampingnya.

Enjoy!

Love, Sha.

Revised: 02/06/2023

Deserve ThisWhere stories live. Discover now