28

11.1K 1.1K 21
                                    

Janne sudah sembuh dari lukanya. Buktinya, ia sedang memohon pada Syanin untuk menemaninya ke sebuah sky lounge di kawasan SCBD untuk merayakan malam tahun baru.  Walaupun sudah membawa Tama, Dhani akan lebih tenang jika Syanin ikut. Janne yang sudah tampil mempesona dengan dress hitam di atas lutut tanpa lengan dengan blazer dengan aksen keemasan sementara Syanin masih enggan beranjak dari sofa dengan piyamanya.

Syanin pasrah saat Janne menarik-narik lengannya supaya segera bersiap, "Mbak males banget, Janne. Nanti di sana juga Mbak ditinggal sendirian. Kamunya sama temen-temen kamu." ia meningat kejadian tahun baru sebelumnya saat Janne hanya memanfaatkan dirinya sebagai penjaga.

"Ayo dong, Mbak, temenin aku. Tau sendiri, kan, aku ga bisa bohong sama Ayah." mohon Janne.

"Kamu mau ketemu siapa, sih?" tanya Syanin pada akhirnya.

Janne tersenyum, "Kok, Mbak tau, sih?"

Syanin menatap malas adiknya, "Jadi siapa?"

"Fiki." cicit Janne malu-malu.

Syanin melebarkan mata, "Serius, Janne? Gefiki Adhiraja? Adiknya Rafka?"

Janne mengangguk pelan.

"Setelah disakitin sama kakaknya sekarang kamu sama adiknya?" tanya Syanin lagi.

Janne lagi-lagi mengangguk pelan.

Syanin beranjak dari duduknya, "Oke, fine."

Janne bertepuk tangan girang. Mengikuti Syanin hingga kamar, ia ingin kakak sepupunya itu terlihat sempurna malam ini. Syanin melipat kedua lengannya di depan dada saat Janne sudah terlebih dulu membongkar lemarinya. Kulot berwarna hitam dan sweater hitam keemasan menjadi pilihan Janne untuk Syanin.

"Mbak, pake softlens aja mau ga?" tanya Janne saat menyapukan blush on di pipi Syanin. Ia sangat tahu jika kakak sepupunya itu akan lebih nyaman menggunakan kacamatanya.

"Ya udah." balas Syanin pasrah.

Janne menatap puas hasil penampilan Syanin. Kakak sepupunya itu tidak memerlukan terlalu banyak polesan di wajahnya. Kerudung berwarna coklat, heels berwarna emas, dan clutch berwarna hitam menyempurnakan penampilan Syanin. Janne tidak salah lagi. Kini penampilan Syanin terlihat serasi dengan gaun yang dipakai Janne.

"Aduh... Pada mau kemana cantik-cantik begini?" tanya Alina saat membuka pintu kamar putrinya.

Janne tersenyum, "Malam, Bude. Gapapa, ya, aku minta Mbak Syanin temenin ke acara tahun baruan di SCBD?"

Alina mengangguk sambil tersenyum, "Gapapa, dong. Bude udah ga betah malam tahun baruan di luar. Mending di rumah aja."

Malam ini Alina sendirian di rumah. Arsyad sudah punya acara sendiri dengan Nisa sejak sore dan mungkin akan menyusul ke SCBD. Setelah Syanin, Janne, dan Tama berpamitan pada Alina, ketiganya meninggalkan pekarangan rumah menuju jalanan ibu kota. Pukul delapan lewat lima, mobil Audi putih milik Tama yang mungkin hanya dipakai dalam hitungan jari dalam setahun itu membelah jalanan ibu kota.

Sekitar pukul sembilan malam, Syanin dan kedua sepupunya itu baru sampai. Cahaya remang yang membangun suasana mewah menyambut Syanin. Pelayan yang berjaga di depan pintu lift memberinya kartu berisi dua batang kembang api. Musik menghentak yang masih bisa Syanin terima itu terdengar dari speaker raksasa yang terpasang di beberapa sudut ruangan.

Kedatangan Syanin tentu mendapat banyak perhatian. Walaupun bukan hanya dirinya yang datang ke tempat semi klab itu dengan hijab, tentu kehadiran Syanin akan selalu menjadi pusat perhatian. Merasa tidak nyaman dengan tatapan itu, Syanin memisahkan diri dari kedua sepupunya. Ia memilih duduk di area meja bar karena ia tidak perlu bertemu dengan wajah-wajah yang ia kenal tapi asing untuknya.

Syanin memesan minuman bersoda kepada bartender yang bertugas di hadapannya. Mungkin jika bartender lain akan heran dengan kehadian perempuan seperti Syanin. Tapi tidak dengan Hilmy yang sudah sering melayani kedatangan Syanin di sini. Mata Syanin mendapati Janne yang sudah bersenda gurau dengan Fiki.

"Mbak Syanin ga gabung sama yang lain?" tanya Hilmy menggeser gelas berisi soda kepada Syanin.

Syanin menggeleng, "Sebenernya saya lagi ga mood dateng ke sini." ia menyandarkan dagunya pada telapak tanga kanannya yang bertumpu di atas meja bar.

"My, biasa." ujar seseorang di sisi kanan Syanin.

Syanin menoleh. Lelaki yang menerima gelas berisi minuman dari Hilmy di sampingnya itu kini sudah duduk. Sudah berapa lama Syanin tidak berjumpa dengan lelaki di sampingnya itu? Sejak Syanin meluncurkan kalimat jahatnya itu, Rafka tidak mengganggunya lagi. Bohong jika Syanin tidak merasa kosong. Nyatanya, Rafka sudah terlalu banyak mempengaruhi hidupnya. Dan Rafka yang duduk di sampingnya itu kini terlihat berbeda. Entahlah, Syanin juga tidak paham kenapa Rafka terlihat begitu berbeda.

"Ngeliatinnya biasa aja, dong." ucap Rafka tersenyum geli saat merasa diperhatikan intens oleh Syanin.

Syanin menyembunyikan gurat merah di pipinya dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia merutuki dirinya sendiri yang tertangkap basah memerhatikan Rafka beserta salah tingkah setelahnya. Lelaki di sampingnya itu hanya mengenakan pakaian kasualnya, blazer hitam dengan kaos putih di dalamnya dan celana bahan berwarna hitam.

"Saya kira perempuan seperti kamu ga akan datang ke tempat seperti ini." gumam Rafka yang tentu menarik perhatian pendengaran Syanin. Perempuan itu menoleh namun tidak menanggapi apapun kalimat Rafka.

"Gimana kabar kamu?" tanya Rafka masih menggenggam gelas kaca berisi minuman itu di tangan kanannya.

Syanin menoleh, "Baik. Lebih baik. How's yours?"

Selama beberapa bulan terakhir ini, Syanin membenahi hidupnya yang cukup berantakan saat Rafka mengacau. Janne sudah berdamai dengan hatinya dan Magenta berkembang pesat di bawah pimpinan Bara. Tentunya berita kedekatannya dengan Rafka mendadak hilang ditelan berita yang lebih hangat lagi. Syanin merasa hidupnya kembali.

Rafka masih menampilkan senyumnya, "Well, setelah saya ditolak mentah-mentah sama kamu, hidup saya juga jadi lebih baik. Terima kasih."

Ada setitik rasa kecewa di dalam lubuk hati Syanin saat mendengar penuturan Rafka. Syanin mengembalikan kesadarannya, ia mengenyahkan pemikirannya. Bukannya itu memang yang ia inginkan selama ini? Dan memang seperti itulah Rafka. Ia tidak akan bergantung dan bertahan pada perempuan yang sama dalam waktu lama. Tapi Syanin juga tidak menemukan keberadaan perempuan yang seharusnya mendampingi Rafka kali ini.

"Saya duluan, ya." pamit Rafka sebelum menghilang di tengah keramaian.

Gimana sejauh ini?

Enjoy!

Love, Sha.

Deserve ThisWhere stories live. Discover now