28. Balikan atau Official?

390 31 39
                                    

Tap here to start reading

(Mungkin, disetiap chapter Masa, sih?! kamu bakal selalu nemu kalimat kek yang diatas. Anggap aja itu ciri khasnya Yaya.)
Monmaap. Chapter ini berantakan. Mau baca syukur, nggak baca juga gapapa. Enjoy.

***

Kila keluar dari gerombolan para siswi yang sedang berebut bola basket. Napasnya benar-benar tidak beraturan ketika ia sampai di pinggir lapangan. Kila yakin keringat di bagian punggungnya pasti sudah berhasil membuat seragam olahraga yang ia kenakan basah.

Baru kali ini Kila mengeluh tentang jadwal olahraga yang berada di jam sebelas siang. Panasnya terasa amat menyiksa. Terlebih jika sedang terik seperti ini.

"Kila, ayo main lagi!"

Kila menggeleng lantas tersenyum. Sambil duduk seraya meluruskan kakinya, ia memerhatikan teman-teman lain yang tengah berada di lapangan sana. Mereka sedang bertanding basket.

Seharusnya hari ini adalah pengambilan nilai untuk materi permainan bola basket. Namun, diundur karena Pak Firman -guru Penjaskes- terkena gejala tifus. Jadi, siswa hanya diminta latihan untuk mengisi kekosongan jam.

"Bilangin dong ke temen-temen lo, Kil," Rahman tiba-tiba berjongkok di sebelah Kila. "Gantian, gitu. Anak cowok juga pengin main arisan." Rahman mengusap gusar wajahnya. "Bosen banget. Udah nunggu seabad, tapi nggak kelar-kelar. Kayak Emak gue kalau lagi negosiasi harga cabe di pasar."


Kila mengedarkan pandangan. Ia nyaris terbahak saat melihat anak cowok duduk berjajar tidak jauh darinya. Ekspresi mereka lucu banget.

"Namanya juga main asal-asal, nggak pakai aturan. Yang penting lari sana-sini kejar bola. Tapi serunya memang bikin lupa waktu," ucap Kila. Cewek itu terkekeh, lantas melanjutkan, "bilang sendiri coba."

Rahman menggeleng keras. Kila tebak, pasti Rahman tidak akan berani. "Kayaknya kamu takut diserang, ya? Nanti yang ngomong cuma kamu, semuanya nyahut," katanya disusul raut jenaka.

Kila terdiam sesaat, begitu pun dengan Rahman. Hanya teriakan dari tengah lapangan sana yang terdengar. Dalam suasana begini, entah kenapa Kila malah teringat sesuatu.

"Rahman," panggil Kila pelan.

Rahman menoleh. Hal itu membuat Kila tiba-tiba gugup. Dapat ia rasakan jantungnya berdetak nggak karuan. Kila ragu tentang hal yang akan ia tanyakan pada Rahman.

"Aku boleh tanya sesuatu nggak?"

"Lo, 'kan pinter. Ngapain nanya sama gue yang bodoh ini, sih?"

Kila berdecak kesal. "Nggak bersyukur."

"Lah kok?" Rahman melongo sembari menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan jalan pikir Kila.

"Otak kamu, tuh! Dibenerin, dong!"

Maksud Kila, Rahman itu tidak perlu merendahkan diri begitu. Sama artinya dengan dia tidak bersyukur. Seharusnya Rahman lebih rajin belajar, bukan justru seolah senang menjadi bodoh.

"Astaghfirullah. Salah otak gue apa, Kil? Tega banget lo bilang kayak gitu." Rahman memelas, tapi Kila sama sekali tidak peduli.

"Gimana, boleh tanya nggak?" ulang Kila dengan nada bicara yang tidak santai.

"Mau nanya aja galak, ya," gerutu Rahman. Lalu cowok itu tersenyum kaku saat mendapat tatapan tajam dari Kila. "Iya-iya. Mau tanya apa, cantik?"

Kila bergidik. Melotot pada Rahman dengan ujung bibir yang terangkat. Dipanggil cantik oleh Rahman itu menggelikan. Kila menghela napas. Ia harus fokus. Mempersiapkan diri untuk jawaban yang akan didengarnya dari Rahman.

Masa, sih? (Revisi) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz