Australia?

Australia yah?

Tuhan... semoga benar ini takdirnya.

Takdir mereka.

Bertujuh.

***

Disudut keramaian ia menyembunyikan dirinya. Dengan balutan serba hitam ia diam-diam ikut tersenyum melihat tawa dan wajah ceria didepan sana. Balutan kelam itu berhasil menyelamatkannya dari hawa dingin yang menyerang kota yang ia tinggali tapi tidak hanya itu, ia juga terselamatkan dari pandangan mereka yang susah payah ia hindari.

Senyumnya lembut. Tatapan hangat dipenuhi kerinduan seorang kakak memancar jelas dari kedua maniknya. Tangannya perlahan menyentuh sudut hatinya yang bergemuruh. Rasanya sekarang ia benar-benar bisa pergi dengan tenang. Meski hatinya masih ingin berlama-lama menatap wajah-wajah didepan sana namun ia sadar, waktunya benar-benar tak banyak sebelum Seokjung menemukan ruang rawatnya yang kosong.

Sekali lagi namja itu, Kim Seokjin, tersenyum lembut dibalik wajahnya yang tertutupi setengah syal berwarna navy yang dipakainya, "Bahagia selalu," lirihnya pelan. "Doa hyung selalu bersama kalian sampai kapanpun"

Ia dengan cepat berbalik arah untuk segera pergi meninggalkan aula restoran tempat adik-adiknya syuting. Langkahnya memang terasa lebih ringan mengingat rindunya telah sedikit terobati. Namun air mata yang kini mengalir dibalik kaca matanya tak pernah bisa berbohong.

Rasa sakit itu masih ada. Rasa sesaknya pun masih sama menyiksa.

Bahkan hingga didetik akhir dirinya telah terbaring lengkap dengan baju biru dibawah lampu ruang operasipun, hati kecilnya masih berdoa lirih meminta sedikit keajaiban yang memungkin ia bisa terus melihat dunia yang kejam ini. Meski jauh sebelumnya ia telah dengan lapang hati menerima hembusan nafas terakhirnya berada di ruang memuakan ini.

"Operasi kelima ini memiliki resiko yang lumayan tinggi mengingat kemoterapi dan terapi radiasi yang dilakukan belakangan ini tak menunjukan perkembangan yang signifikan. Namun kita juga tak bisa mengambil resiko serangan yang lebih buruk dari semalam"

Ia masih ingat percakapannya bersama dokter dan juga kedua orang tuanya siang itu. Dokter Morand, pria akhir 40-an yang selama ini merawatnya menunjukan raut penyesalan yang penuh kekhawatiran saat menyampaikan kabar itu. Terlebih Seokjin yang ada disana baru saja berhasil melewati serangan ganasnya beberapa jam yang lalu.

Wajah tuan dan nyonya Kim terlihat bimbang dan ragu. Keduanya menunduk menyembunyikan raut sedih yang kentara terlihat dari pandangan Seokjin yang terbaring dengan sejumlah alat ditubuhnya. Seokjin tahu, orang tuanya pasti memikirkan perkataan Seokjin sebulan yang lalu setelah operasi ke empatnya.

Saat itu ia berkata terang-terangan bahwa ia muak jika terus keluar masuk ruangan menyeramkan itu tanpa hasil pasti. Hari itu Seokjin begitu kalap. Ia tak bisa mengontrol emosinya hingga hal yang selama ini ia pendam demi menjaga perasaan keluarganya yang telah mengupayakan berbagai hal untuk pengobatannya ia tumpahkan begitu saja.

Ia sadar jika setelah keluar dari ruang rawatnya ibunya menangis dalam pelukan sang ayah. Ia juga tahu bahwa malam itu kakaknya, Seokjung pergi meninggalkannya sendiri di ruangannya untuk menangis entah dimana. Ia sadar bahwa ia telah menyakiti hati orang-orang yang menyayanginya lagi. Dan mungkin hal itu jugalah yang membuat kedua orang tuanya siang itu ragu untuk mengiyakan saran Dokter Morand mengenai dirinya yang harus kembali terbaring di ranjang operasi.

Seokjin termenung. Tubuhnya memang masih sangat lemas untuk ia gerakan. Namun naluri dan pemikirannya tetap berjalan seperti biasa. Ia sadar dengan maksud 'resiko tinggi' yang dokter Morand katakan. Dan mungkin ia juga sudah siap menerima itu semua?

형, 이렇게 아니야. (Hyung, It's Not Like This) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang