Babak Dua: Montana

Start from the beginning
                                    

"Maafkan aku, aku lupa jika helm ini milik adikku. Jadi... tentu saja tali pengamannya tidak akan muat denganmu. Biar aku betulkan." Jelas Joey kemudian dia mengatur tali pengaman helmnya dan segera melihat wajah Devonna dengan senyuman. "Tapi kau tidak perlu khawatir, sekarang itu sudah terpasang dengan baik. Mari kita berangkat sekarang."

Joey segera menancap gas dan bersama mereka pergi menuju bandara. Selama perjalanan, Devonna hanya terdiam melihat matahari yang perlahan keluar dari selimut hitam di ujung kaki langit sana. Warna oranye pekat di langit mulai merambat, memperlihatkan gumpalan awan yang melayang di atas.  Genggaman tangannya kini lebih erat pada jaket denim yang dikenakan oleh Joey.  Senyuman tulus terbentuk di wajahnya selagi Devonna terus menatap matahari yang kian meninggi dan menampakkan sinar indahnya.

Jarum jam menunjukkan pukul enam pas, kini langit sudah terang dan Bandara Udara Internasional Denver sudah begitu dipadati oleh pengunjung. Sahutan-sahutan dari suara informasi yang mengabarkan tentang keberangkatan pesawat selalu terdengar  setiap sepuluh menit sekali. Berada di sebelah dengan melihat ponselnya, Joey kebingungan. Ini pertama kalinya ia pergi menggunakan pesawat atau sebenarnya ini pertama kalinya ia berada di bandara. Dia bisa saja mengaku pada Devonna bahwa dirinya bodoh tentang segala hal tentang pemesanan tiket dan lainnya. Joey benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.  Jika ini kereta, semua akan terlihat begitu mudah.

"Aku akan mengantri untuk membeli tiket." Jelas Devonna sembari melihat Joey di sebelahnya.

Joey langsung mencegat jalan Devonna. Dia melihat perempuan itu dengan serius. "Tidak, biar aku saja yang beli tiket." Jelasnya.

Devonna tampak kebingungan. "Kau bisa melakukannya?"

Bulir keringat yang sebesar bulir jagung seakan keluar dari pori-pori kulitnya yang begitu kecil. "Ya... tentu saja aku bisa. Kau pikir aku tak pernah membeli tiket pesawat?!"

Devonna mengangguk pelan dan memandang Joey dengan tatapan curiga. Dia tahu Joey berpura-pura, tetapi Devonna berpikir bahwa dia harus mengikuti apa yang dimainkan lelaki itu. Kecurigaannya tidak mengarah kepada hal negatif yang biasanya dia tuangkan kepada seorang Joey, kecurigaannya kali ini murni untuk asupan humornya saja. Dia ingin tahu apa Joey bisa melakukannya.  Tetapi lain dengan Joey, otaknya kini seperti sebuah apartemen yang dilahap api besar, semuanya terasa panas dan membingungkan, dia terjebak dalam api yang ia buat sendiri.

'Ini sangat ironi.' Pikirnya.

"Baiklah jika kau bersikeras. Aku harap kau ingat ini." Ucap Devonna. "Kita akan pergi ke Montana, tepatnya Billings." Lanjutnya.

Joey mengangguk dengan mulut yang sedikit terbuka. "Baiklah, apa ada lagi yang harus aku lakukan?"

"Ini uang dan kartu identitas." jelas Devonna memberikan lima lembar uang seratus dolar dan juga kartu identitas miliknya. "Aku akan menunggu di sana dan jika ada kembalian, treat yourself."

Joey mengambil uang dan kartu pengenal milik Devonna. "Aku berharap lahir di keluarga kaya sepertimu, geez."  lirih Joey sembari melihat Devonna. "Kau mengeluarkan uang seakan ini bukan apa-apa."

"Aku tersanjung mendengar perkataanmu, tetapi itu dari hasil jerit payahku setelah membanting tulang dari pagi hingga malam hari." Balas Devonna. "Lebih baik kau cepat, kita tidak ingin ketinggalan pesawat bukan?"

Joey mengangguk, mereka kini berpisah untuk sementara—Joey menuju antrean dan Devonna menunggu di ruang tunggu yang menyatu lokasi loket pesawat. Devonna duduk pada bangku besi dan beruntungnya dia, Devonna masih mendapatkan pemandangan akan kejadian langka Joey yang sedang kebingungan dan terlihat seperti seorang anak yang kehilangan ibunya di swalayan. Devonna menyandarkan tubuhnya di sandaran bangku yang terasa sedikit dingin, dia menyilangkan kakinya dan tangan yang terlipat di depan tubuhnya. Tatapan matanya hanya tertuju pada Joey yang sedang mengantri di belakang seorang pria memakai mantel coklat panjang berbahan kulit dengan sedikit basah di bagian pundaknya. Perhatiannya kemudian teralih ketika ponselnya bunyi. Devonna segera mengeluarkan handphonenya dan melihat papan notifikasi yang memberi tahu bahwa terdapat sebuah pesan masuk dari Olivia.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Where stories live. Discover now