8. Bintangnya indah, ya!

84 13 3
                                    

"Lupakan saja, itu hanya perkara kamu mau atau tidak!"

🌞🌞🌞

"Siapa namanya?"

Mentari diam mematung, jantungnya berdegup kencang. Yang Mentari ingat hanyalah wajah dan kejadian itu. Rasanya tak akan bisa lagi dia mendapat sebuah harapan untuk lari dari masa lalunya. Semakin dia datang kemari, ingatannya melintas dengan cepat tanpa celah untuk berhenti.

"Hisk.... Hisk... Hisk..."

Malam itu Langit pertama kali melihat Mentari menangis semenyakitkan ini. Pertama kali baginya karena tiap hari dia hanya tahu sisi Mentari yang kuat dan tegar. Berbeda dengan sekarang, Langit memeluk Mentari agar gadis itu tak terisak kembali. Bagaimana bisa dia diam saja, Langit mengusap punggung gadis itu lembut.

"Maaf, Tar. Gue nggak tahu apa yang lo alami dulu, tapi gue harap lo bisa maafin diri lo sendiri."

🌞🌞🌞

"Semalam lo habis nangis lagi?"

"Nggak!"

"Bohong! Mata lo gede banget, gue aja pick gue nggak debut nggak sampai segede lo. Minkyu oppa sampai lesu gitu, hah!"

Mentari menggeleng pelan karena Afika juga memiliki kantung mata hitam yang tak kalah dengannya. Mereka mirip zombie ditengah kelas. Menjadikan mereka pusat perhatian. Jangan salahkan Afika yang tak bisa berhenti menangis sampai jam 2 dini hari karena pilihannya tak masuk line debut. Mirisnya lagi semua picknya tak ada yang masuk.

"Kalian habis ngapain semalam?" Tanya Sadam tak habis pikir kelakuan mereka.

"Kepo lo! Lo terlalu cupu untuk tahu!"

"Apa? Gue tanya baik-baik sama kalian, kalau guru tahu gue mesti jawab apa?" Sadam membenarkan letak kaca-matanya yang hampir melorot.

Sadam tidak ingin reputasinya tercoreng sebagai ketua kelas yang teladan dirusak oleh dua sahabat saling bertolak belakang itu. Dia sudah dicap sebagai orang yang bisa mempertanggungjawabkan semua kelakuannya dan kelasnya. Kecuali Langit yang sering membuat ulah atau Afika yang teriakannya sangat mengganggu.

"Diam aja sono!"

"Gue ketua kelas disini!" Sadam menekan setiap katanya.

"Kaku amat, sih! Jadi orang jangan apa-apa karena gelar atau kekuasaan lo berhak tahu semuanya." Afika menggebrak meja membuat seisi kelas melihat tontonan pagi hari yang lumayan seru.

"Kita baru nonton film series jadi kayak gini." Mentari mencoba tersenyum dan menenangkan sahabatnya.

"Oh, beda ya sama Afika! Dasar bucin KPop!"

"Apa lo! Maju sini! Gue nggak takut sama badak kayak lo!"

"Gue juga berani! Maju lo duluan!"

Mentari memilih memasang earphone dan memutar lagu sekeras mungkin. Dia terdiam dalam lamunannya semalam. Dia harus menyelesaikan masalahnya dan itu tidak mudah. Namun, itu lebih baik daripada ketika tua nanti dia masih terbayang-bayang perasaan bersalah terus menerus. Cara terbaik adalah dia harus punya sesuatu agar lupa masa lalunya. Dia hanya ingin lari sekarang.

Jika boleh berandai-andai Mentari memilih lupa ingatan sekalian daripada mengingat sesuatu yang menyakitkan itu. Kata orang obat yang paling baik adalah waktu. Mungkin benar, tapi sampai kapan?

Toko Kaca ( END )Where stories live. Discover now