3. Hukuman

136 21 2
                                    

"Bukannya ingin menyendiri, dunia saja yang terlalu ramai."

🌞🌞🌞

"Mentari! Kamu sebagai kakak harusnya jaga adik kamu!"

Raka menangis tersedu-sedu memegang dahinya yang benjol kecil. Sebenarnya semua ini bukanlah salah Mentari 100%. Adiknya terlalu bersemangat berpura-pura bekerja sebagai polisi sampai jatuh saat mengejar pencuri. Inilah takdirnya memiliki seorang adik SD yang apa-apa pasti dirinya pelaku utama. Fifi ikut-ikutan menangis tahu suami bohongannya mengalami kecelakaan.

"Mentari sudah jaga, cuma Raka nggak hati-hati!"

"Tante, Raka pasti sembuh kan?" Fifi menggoyang-goyangkan tangan Sinta. Mata dan pipinya memerah karena tak berhenti mengeluarkan air mata.

"Raka nggak apa-apa, Fifi pulang aja biar diantar Kak Tari!"

"Wehhh, Mentari lagi?" Sinta melotot pada anak pertamanya.

Mentari menekuk wajahnya dan mengandeng tangan Fifi. Rumahnya berjarak lima rumah, cukup dekat dari kediamannya. Hari juga sangat sore, Sinta takut Fifi mengalami sesuatu di jalan. Lebih baik bersama Mentari, mana ada penculik menculik seorang gadis bongsor.

"Besok Raka sudah sembuh, kan?'

"Mungkin kalau Fifi nggak ajak main." Saran Mentari.

"Yahhh, berarti Fifi nunggu Raka sampai sembuh?"

"Iya, atau cari permainan lain. Fifi nggak mau kan Raka sakit terus?"

"Hm, jadi besok Fifi ajak main Raka boleh?"

"Main apa?"

"Main bayi-bayian."

Mentari mengelus dadanya mengucapkan kalimat dzikir guna menenangkan hatinya. Jalan pikiran anak kecil tak ada yang tahu. Bisa jadi 'A' atau 'Z', semuanya bisa jadi tebak-tebakan. Mereka polos dengan kadar tahu kecil. Itu lebih baik, bila besar nanti mereka akan tahu bahwa ingin kembali rasanya jadi anak kecil. Tidak tahu ini itu dan Mentari menginginkannya.

🌞🌞🌞

Matahari menyinari jalanan yang sepi, sepi dari orang-orang berseragam. Mentari berlarian mengatur langkah kakinya. Dia telat! Seorang cewek baik-baik harus telat gara-gara sepeda motornya mengalami kebocoran hebat. Padahal sejatinya motornya baru digunakan mengantar adiknya dan ketika dia ingin berangkat. Nasib sudah menimpanya sejauh ini.

"Pa-k... Bu-ka!"

Pak Mail geleng-geleng dan membuka gerbang. Mentari tersenyum penuh kemenangan sebelum sebuah hukuman menantinya. Beberapa anak berbaris rapi berjajar di depan seorang guru berkumis.

"Hey, kamu! Ikut ke barisan!"

"I-ya, pak."

Ada delapan anak termasuk Mentari yang melanggar peraturan. Dari lupa memakai ikat pinggang, sepatu berwarna salah, kaos kaki pendek, rambut panjang, sampai lupa memasang badge. Mereka diam ditemani suara Pak Jaka memberikan pidato. Dari membahas kedisiplinan, peraturan, tata tertib, dan sebagainya. Mentari mendengarnya, dia sadar perbuatannya salah. Pergi ke sekolah tidak disiplin termasuk melanggar peraturan. Jika orang bilang peraturan hanya untuk dilanggar lalu apa kabar jika sistem di Indonesia tidak ada peraturan. Bukankah akan jauh lebih buruk? Pendidikan hancur, macet, banyak kecelakaan, tumbuhnya hal negatif lain. Walau efek sampingnya kata penjahat ditiadakan. Orang tidak lagi bisa dipenjarakan atau dihukum seperti sekarang ini. Hanya saja terkadang hukuman di sekolah terlalu aneh.

Toko Kaca ( END )Where stories live. Discover now