17. Apa yang Dirasa?

35 8 0
                                    

"Yang penting yang terus diingat!"

🌞🌞🌞

"Kemarin Raka ulang tahun, ya?"

Mentari mendongak menatap Bintang yang datang ke dalam kelasnya. Sejak pagi sebenarnya dia sudah menghindari keberadaan Bintang. Seperti merasa tak enak hati saja.

"Iya, cuma sederhana aja. Ngundang temennya Raka." Mentari tak mau membuat pemuda itu salah paham.

"Oh, nanti sore saya ke rumah, ya. Saya mau kasih hadiah ke Raka."

"Nggak usah repot-repot."

"Tenang, Tar. Ini saya kasih ikhlas."

"Hmm, maaf ya nggak beritahu lo. Soalnya juga dadakan, gue aja lupa kalau nggak Langit ingetin."

"Iya, yang penting saya tahu sekarang. Nanti pulang sekolah saya aja ya yang antar kamu pulang."

"Hmm?"

Mentari mengangguk mengiyakan. Dia agak sungkan sekarang jika menolak, apalagi Bintang juga ingin bertemu Rama.

"Nanti saya kesini lagi, jangan lupa kabari, Tar."

"Iya."

Bintang pergi, beberapa anak sudah banyak yang masuk ke dalam kelas. Afika melambai-lambai kan tangannya dan bersenandung lagu baru.

"That that i like that, wooo... That that i like that."

Afika mengambil handphone dan memberitahu layarnya pada Mentari.

"Tahu nggak Tar, Yogi Oppa buat lagu baru sama PYS. Ihhh, gue demen banget. Kalau gini kayaknya gue mau nikah sama Yogi Oppa."

"Hmm..."

Mentari menjawab seadanya, dia juga tak tahu siapa yang Afika maksud. Dia sudah lelah harus menjawab pertanyaan Bintang yang. Takut lebih tepatnya, jika dia salah bilang dan Bintang berpikir negatif. Dia tak suka akan hal itu. Apalagi dia ingin membangun pertemanan yang banyak. Setiap kata yang keluar harus baik kan? Dia tak mau kehilangan teman.

"Belum sarapan lo, lemes amat."

"Belum, nih bubur mang Yoyon abang Langit beliin khusus untuk Mentari." Langit datang tergesa-gesa membawa kresek.

Afika menatap kedua temannya horor, ini baru namanya tumben.

"Tumben, ada acara apa nih?"

"Beliin aja! Mau lo?" Tawar Langit.

"Mau lah kalau gratis."

"Beli sendiri, minta gratisan. Dimakan Tar!"

Mentari membuka kresek, ada sebuah styrofoam yang masih hangat bersama sendok plastik diatasnya. Dia juga belum sarapan sebenarnya jadi lumayan untuk dimakan.

"Ini beneran?"

"Iya, gue udah sarapan tadi disana. Terus gue inget lo tadi lewat kayak orang kesurupan. Biasanya kan mama lo belum masak kalau pagi banget."

Langit mengingat betul kebiasaan keluarga Mentari. Karena biasanya mamanya akan belanja di warungnya.

"Gue tadi mau berangkat pagi, sekarang kan jadwal gue piket. Thanks ya, gue makan nih."

Langit menyeret kursi dan duduk di samping meja. Dia mengamati Mentari yang membuka dan memakan bubur ayam.

"Lang!" Afika menaruh tas dan menutup handphonenya.

"Apaan?"

"Lo nggak lagi PDKT sama Mentari kan?"

"Uhukkk..."

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang