47. Marah Tanpa Alasan

19 4 0
                                    

"Jatuh cinta itu banyak rasanya!"

🌞🌞🌞

"Saya pulang, Tar. Besok pagi saya jemput kamu ya?"

"Besok pagi? Jangan, Bin! Gue ngerepotin lo!"

"Kamu lupa sama perkataan saya? Tolong terima Tar!"

"Lo nggak keberatan jemput gue kesini?"

Bintang menggeleng dan memakai helmnya. Dia sama sekali tidak keberatan jika harus menjemput atau mengantar pulang Mentari. Dia justru senang direpotkan Mentari.

"Sampai jumpa besok, Tar!"

"Hmm... Hati-hati, Bin!"

"Iya, Assalamualaikum!"

"Wallaikumsalam."

Bintang berlalu pergi meninggalkan rumah Mentari. Mentari menatap kepergian Bintang sampai laki-laki itu menghilang dari pandangannya. Sesaat Mentari menyentuh dadanya sangat kencang. Sepertinya dia merasakan hal aneh yang tidak bisa dia katakan. Apakah cinta itu seperti roller coaster? Dia tidak tahu tanjakan atau turunan apa yang akan datang. Begitu juga dengan cinta yang tidak bisa ditebak akan terjadi kepada siapa.

Mungkin Mentari tidak lagi meminta bantuan dari Afika. Cara paling mudah agar orang lain menyerah adalah menemukan cinta lainnya. Mentari tersenyum menatap toko kaca di samping rumahnya. Bertahun-tahun dia terjebak pada masa lalu seakan menjerat dirinya. Merasa bersalah dan terus-menerus dihantui mimpi buruk. Mentari akhirnya bisa merasakan sebuah udara segar disekitarnya. Tali yang mengikat lehernya telah putus. Tidak akan lagi perasan yang menyakiti hatinya.

"Tar, tadi itu Bintang?" Tanya Langit membawa sesuatu ditangannya.

"Iya, tadi gue diantar sama dia. Ada apa Lang?"

"Oh, gue bawa ini dari Abah. Katanya mama lo pesen."

"Makasih, ya!" Mentari menerima kantung hitam berisi bahan-bahan pembuatan kue. Sejujurnya ini adalah pesanan Mentari. Dia akan mencoba membuat kue atau makanan manis lainnya.

"Gue nggak disuruh masuk?" Tanya Langit.

"Lo mau masuk? Masuk aja! Ada Raka di rumah, gue mau istirahat. Capek banget!"

"Emang lo dari mana?"

"Habis makan sama Bintang, enak banget makanannya gue jadi pengen lagi kesana ajak mama sama Raka. Kalau mau masuk, masuk aja Lang!"

"Nggak, lo pasti capek habis main sama Bintang. Gue pulang, Tar?" Langit berjalan kembali ke rumahnya. Dada Langit merasa sakit yang aneh. Dia marah! Sangat marah! Tapi dia tidak bisa menunjukkannya pada siapapun. Terutama pada Mentari, dia bukan siapa-siapa yang harus melarang Mentari bertemu seseorang selain dirinya. Dia tidak memiliki alasan apapun, dia hanya temannya. Itu saja.

🌞🌞🌞

"Lang, gue mau satu meja sama Bintang. Tadi Faisal ajak gue tuker tempat, gue juga mau meja depan sana. Nggak apa-apa, kan?" Tanya Mentari membawa barang-barangnya.

"Iya."

"Makasih, Lang!" Mentari tersenyum cerah dan pergi duduk di samping Bintang.

Langit melihat mereka berbicara dan saling tersenyum satu sama lain. Mentari nampak bahagia duduk di samping Bintang tidak seperti saat duduk dengan dirinya. Mentari terlihat tidak nyaman bersamanya. Langit menutup wajahnya dan mencoba tertidur sejenak. Dia benar-benar tidak bisa melihatnya.

Brakkk...

Langit memukul meja dan keluar dari kelas. Semua anak melihat kepergian Langit secara tiba-tiba. Mentari melihatnya sejenak dan berbicara lagi pada Bintang. Dia tidak ingin mencampuri masalah Langit. Dia bukan seseorang yang bisa membantunya.

"Lo udah tentuin mau masuk mana?" Tanya Mentari.

"Iya, mama minta saya buat masuk universitas disini. Kamu sendiri?"

"Gue masih bingung, soalnya nilai gue nggak bagus-bagus amat. Mungkin disini atau Bandung. Gue belum tahu juga."

"Pasti bisa, Tar. Saya akan ajari kamu."

"Beneran? Makasih, Bin. Gue bakal banyak tanya sekarang, lo nggak bosen jawab pertanyaan gue atau ajari gue."

"Iya, saya akan ajari kamu. Coba sekarang tentukan pilihan kamu sendiri. Kamu harus punya target jelas. Saya akan bantu kamu, ada banyak buku yang bisa kamu beli untuk belajar masuk universitas. Memang kita baru kelas 2 tapi saat-saat ini waktunya kita harus serius."

"Hmm, oke."

"Sore ini, saya antar ke toko buku. Nanti saya tunjukan bukunya."

"Hmm... Nanti sore? Okey, Bin." Mentari mengangguk menyetujui.

Dia ingin segera mempersiapkan  untuk masuk universitas atau perguruan tinggi dua tahun lagi. Dia tidak ingin belajar secara mendadak. Dia ingin belajar dengan giat agar bisa diterima di universitas terbaik. Mentari ingin membanggakan papa dan mamanya. Dia ingin mereka tahu bahwa mereka juga bisa dibanggakan.

"Tar!"

"Apa?"

"Saya harap kita berdua bisa berteman lama, Tar."

"Bicara apa sih? Kita temanan pasti akan lama. Nggak usah mikirin hal itu, gimana kalau lo ajari gue matematika lagi?"

"Kamu semangat banget, Tar!"

"Iya, gue mau banggain mama papa. Bantu gue ya Bin!"

"Iya." Bintang menepuk kepala Mentari dan mengambil buku untuk mengajarinya.

Mentari diam dan bergerak kaku mengambil bukunya. Bintang baru saja menepuk kepalanya. Ada perasaan aneh yang hinggap pada hati Mentari. Seakan perutnya tergelitik oleh sesuatu. Dia menutup wajahnya dengan buku dan melihat Bintang. Wajah Bintang yang teduh dengan sorot mata yang tajam. Mentari baru tahu bagaimana seseorang bisa bertindak aneh ketika jatuh cinta. Dia merasakan sendiri sekarang.

"Hemm... Tar! Ada sesuatu di wajah saya? Kenapa kamu lihat saya?" Bintang melihat Mentari.

"Nggak, nggak ada apa-apa." Mentari menggeleng cepat dan mengerjakan soal-soal yang berikan padanya.

🌞🌞🌞

Salam ThunderCalp!🤗

Cieee... Mentari!!!😆

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Toko Kaca ( END )Where stories live. Discover now