45. Dari Sini Kita Berbeda

22 3 0
                                    

"Masa depan itu hanyalah sebuah tebak-tebakan yang kadang begitu menakjubkan."

🌞🌞🌞

"Hiskkk... Gue nggak mau! Apa ini? Gue sekelas lagi sama Sadam? Wibu itu lagi? Gue juga nggak bisa sekelas sama Mentari. Hiskkk... Nggak mau!" Afika berteriak-teriak di depan papan pengumuman.

"Gue juga nggak mau!" Teriak Sadam disampingnya.

"Awas kalau lo buat gara-gara sama gue!" Ancam Afika.

"Siapa? Najis gue mau cari gara-gara sama lo!" Sadam berlalu pergi lebih dulu.

"Tar, gimana nih?" Teriak Afika lagi.

Mentari mendongak dan melihat namanya di kelas lain. Bersama dua orang yang berada di kanan dan kirinya sekarang. Takdir apa yang membuat mereka berada di kelas yang sama?

"Gue emang takdirnya sama Mentari!" Langit merangkul Mentari.

"Lepas, Lang!" Mentari menjauhi Langit dan menuju kelasnya sekarang berada.

"Jauhi Mentari! Dasar buaya darat KW! Cari orang lain, noh!" Afika menghalangi Langit yang akan mendekati Mentari.

"Apa sih, ganggu aja fanatik K-Pop! Sana gue mau ke kelas sama Mentari. Kelas lo bukan kesini!" Usir Langit.

"Huh... Awas aja! Tar, nanti ke kantin sama-sama ya?" Pinta Afika dengan wajah memelas.

"Iya."

"Jauh-jauh dari buaya darat! Mending sama yang pasti-pasti aja kayak Bintang contohnya." Afika berlari ke arah kelasnya.

Bintang menahan tawanya melihat Afika dan Mentari. Mentari menengok ke belakang dan melihat Bintang yang tersenyum. Dia merasa hidupnya tidak akan baik-baik saja tahun kedua ini. Nyatanya dia telah berdoa agar bisa kembali sekelas dengan Afika bukan mereka berdua. Mungkin karena dia bukan anak sholehah.

"Tar, kamu mau sebangku dengan saya?"

"Iya!" Jawab Mentari cepat sebelum Langit mengacaukan semuanya.

"Terus gue? Bukannya lo sama gue?" Langit menunjuk dirinya.

"Bintang bisa ajarin gue banyak hal. Lo juga berisik, gue nggak bisa tidur kalau sebangku sama lo. Ayo, Bin! Kita harus cari bangku paling bagus. Gue harus bisa jadi pintar kayak lo!" Mentari menarik tangan Bintang.

Bintang tersenyum penuh kemenangan, dia melihat Langit yang nampak sangat kesal. Dia menang satu langkah lagi.

🌞🌞🌞

"Mentari Anantya! Ketua kelas IPA-1."

Semua orang bertepuk tangan meriah, Mentari menatap semua orang dengan pandangan sangat lelah. Dia sama sekali tidak ingin menjadi seseorang yang akan direpotkan. Semua ini karena seorang Langit yang menunjuk dirinya sebagai ketua kelas dan hanya Mentari saja yang menjadi kandidat ketua kelas. Otomatis dia menang dengan mudah tanpa menggunakan pilihan.

"Tar, pidato dong! Pidato kemenangan!" Seru Langit.

"Iya-iya!"

"Ayo, Mentari!"

Semua anak bersorak dengan sangat berisik. Mentari mengepalkan tangannya menjadi amat putih. Dia tidak akan pernah mau lagi terlibat hal seperti ini lagi suatu hari nanti. Mentari tersenyum dan menatap tajam ke arah Langit.

"Mungkin kalian ada yang nggak kenal sama saya. Nama saya Mentari Anantya, kalian bisa panggil saya Mentari atau Tari. Kedepannya saya berharap kita semua saling bisa bekerja sama dengan baik. Saya berharap kalian mau membantu saya disini karena saya baru pertama kali menjadi ketua kelas. Terima kasih."

"Sekarang siapa yang mau jadi wakil ketua?" Tanya Bu Jinan, wali kelas mereka.

"Saya!" Bintang dan Langit mengangkat tangan bersamaan.

"Kok ada dua? Tadi nggak ada yang mau jadi ketua kelas, ini malah dua wakilnya."

"Karena Mentari jadi ketuanya, Bu! Jadi mereka mau!" Ucap seseorang yang berasal dari kelas Mentari dulu.

"Oh..." Semua anak melihat dua orang yang saling pandang.

"Kalau begitu Bintang, kamu jadi wakil ketua. Langit, kami jadi bendahara!"

"Lha, kok saya yang bendahara, bu? Saya mau jadi wakil ketua biar besok saya bisa jadi wakilnya Mentari." Kata Langit membuat seisi kelas menjadi riuh.

"Kamu itu punya toko, bisa lah hitung-hitungan uang kelas. Bisa kan?" Pinta Bu Jinan.

"Yang punya toko abah saya, saya cuma pegawai aja disana."

"Terima aja, Lang!" Pinta Mentari.

"Oke deh, kalau ayang yang minta." Langit tersenyum jahil pada Mentari.

"Cieee..."

Mentari menutup matanya sejenak agar dia bisa menahan amarah yang akan meluap. Langit tersenyum malu-malu pada semua orang walau wajahnya tidak punya malu.

"Saya jadi nyesel pegang kelas ini. Ya sudah, kita lanjutkan lagi pemilihannya."

🌞🌞🌞

"Tar, gue ada berita buruk!" Afika berlari ke arah Mentari yang telah menunggunya di depan pintu.

"Gue juga."

"Kayaknya kita berdua senasib. Huh... Di kelas nggak ada yang mau temenan sama gue. Gue bilang gue suka K-Pop tapi mereka bilang selera gue aneh." Afika menunduk dalam.

Walau mereka tidak menyukai seleranya tapi setidaknya mereka mau berteman dengannya. Tapi tidak ada satupun yang mau dekat dengannya. Bahkan dia justru duduk sendirian. Afika ingin menangis saat itu juga. Dia merasa salah berada di kelas. Tidak ada mau berteman dengannya.

"Pasti, ada! Mereka hanya belum kenal sama lo aja. Nanti juga mereka temenan sama lo, percaya aja sama gue. Kalau sekarang belum, kan ada Sadam!"

"Sadam sama aja!"

"Tapi dia temenan sama lo."

"Hmm... Iya, sih."

"Selera orang itu beda-beda, emang nggak ada yang akan sama. Kalian bisa aja ribut karena perbedaan itu. Tapi kan nggak selamanya ribut juga. Lagian selera orang nggak bisa disamaratakan."

"Lo sendiri kenapa?" Tanya Afika ingin tahu.

"Gue jadi ketua kelas!"

"Pfttt... Hahaha... Lo yang kayak gini jadi ketua kelas? Daebak! Omo! Omo! Gue harus bilang ke dunia yang biasanya nggak ada semangat-semangatnya jadi ketua kelas!"

"Gue males banget!"

"Terus Bintang jadi wakilnya?" Tebak Afika.

"Kok lo tahu?"

"Iyalah, Afika. Ya udah nggak apa-apa, Tar. Bisalah tambah deket sama Bintang!" Afika menyenggol tubuh Mentari.

"Bukan itu aja itu aja berita buruknya!" Mentari mengembuskan napas lelah.

"Masih ada?"

"Gue semeja sama Langit!"

🌞🌞🌞

Salam ThunderCalp!🤗

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Toko Kaca ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang