44. Masa Kecil Mereka

24 4 0
                                    

"Terkadang masa lalu justru menjadi kenangan terburuk untuk di kenang!"

🌞🌞🌞

"Tar, ini buat kamu!" Bintang memberikan hasil panggangannya untuk Mentari.

"Kayaknya enak, makasih Bin!"

"Iya!"

Mentari menikmati makanannya dan melihat Arez serta Langit yang sedang membicarakan sesuatu. Sejak Langit mengatakan kalimat yang akan membuktikan perkataannya. Dia begitu melakukan banyak hal untuk Mentari. Dari tidak membiarkan Mentari membawa beban berat, menghalangi asap yang mengenai Mentari, memberikan tempat duduk terbaik, dan masih banyak lagi.

"Tar, gue mau tanya! Tapi lo harus jawab!"

"Tanya apa?"

"Lo sama Langit itu kayak gimana, sih, Tar? Gue jadi paham sekarang, apa sebenarnya lo nggak suka ya sama Bintang? Apa lo suka sama Langit?"

"Kenapa lo bisa berpikir kayak gitu? Kita semua teman, Fik!"

"Tapi perhatian lo beda, Tar! Lo itu lebih perhatian sama Langit yang selama ini gue lihat."

"Namanya juga temen! Emangnya gue nggak perhatian sama lo? Lo sama Langit kan sahabat gue!" Mentari tersenyum dan kembali memakan makanannya.

Apa yang salah? Dia juga perhatian pada teman-temannya yang lain bukan hanya Langit saja. Dia juga perhatian pada Afika. Memangnya salah jika dia memperhatikan mereka? Mentari hanya ingin membantu saja. Seperti Langit, dia harus meminum obatnya untuk kesembuhannya. Dia harus melakukan hal itu agar Langit tidak akan merasakan sakit lagi. Apa dia salah jika melakukannya?

Perhatian apa yang Afika maksud? Dia tidak paham sama sekali dengan pikiran orang-orang tentangnya.

"Gue denger kalian tadi. Maaf kalau gue denger, gue nggak sengaja lihat kalian di dapur. Gue kira kalian mau ambil sesuatu, ternyata gue justru lihat dan denger semuanya. Gue juga syok tahu Langit minum obat. Obat apa sih, Tar? Langit sakit apa?"

"Lo denger semuanya?"

"Iya!"

"Hah..." Mentari meletakan makanannya dan memijat kepalanya yang berdenyut.

"Fik, kalau gue kasih tahu ini ke lo. Apa lo bisa bantu gue buat Langit jauhin gue? Apa lo bisa?"

"Emangnya kenapa?"

Mentari menatap Langit yang memegangi gitar Arez dan mencoba memainkannya. Ada sebuah hal yang Mentari sembunyikan selama ini. Sebuah cerita tentang dirinya dan Langit di masa lalu.

"Dulu waktu gue kecil, gue punya temen yang tinggal di sebelah rumah gue. Lo tahu toko kaca itu kan? Dia tinggal disana bersama keluarganya. Gue suka banget disana, ada banyak hal yang mereka jual. Semuanya barang-barang dari kaca. Temen gue namanya Angkasa, dia anaknya baik, ramah, suka permen, suka jajan kayak Raka, pokoknya dia mirip adik gue. Gue dulu selalu sama dia, kemana-mana sama dia, makan, tidur, apapun sama dia karena rumah kita dekat. Tapi, saat gue ke rumahnya. Gue lihat apa yang harusnya gue nggak lihat."

"Apa?"

"Orangtuanya bertengkar sampai mereka lempar banyak barang mereka disana. Gue sama Angkasa cuma bisa saling pelukan saat itu. Gue nggak bisa lari dari sana sama Angkasa atau minta tolong sama mama. Gue takut banget! Tapi gue lebih takut sama Angkasa didekat gue. Dia ketakutan, Fik. Selang beberapa lama, gue denger suara orang minta tolong dan suara benda pecah. Saat itu gue dan Angkasa turun dari atas dan coba lihat apa yang terjadi. Disana kami lihat ibu Angkasa penuh dengan darah dan ayahnya yang pegang pisau berdarah. Lo bayangin anak umur 6 tahun lihat itu? Kami juga diam disana, Fik. Gue takut banget lihatnya, gue bisa kebayang wajah ibu Angkasa lihat gue. Dia minta tolong berkali-kali. Tapi gue nggak bisa bantu. Gue nggak bisa tolong dia. Begitu juga sama Angkasa. Ayahnya lihat kami berdua dan berniat lakuin hal yang sama. Dia mau bunuh kami berdua!"

"Astaghfirullah!"

"Beberapa saat gue yakin hidup gue nggak akan lama. Tapi Angkasa, dia lepas tangan gue dan dorong tubuh gue keluar rumah saat ayahnya pegang tangan dia. Gue lihat wajahnya disana. Saat itulah gua nggak tahu apa-apa lagi selain suara polisi sama mama yang peluk gue."

"Apa yang terjadi sama keluarga Angkasa?"

"Paginya, gue denger dari mama. Ibu Angkasa meninggal, ayahnya melarikan diri dan bunuh diri di sungai, cuma Angkasa yang selamat tapi dia mengalami banyak luka ditubuhnya. Termasuk luka pukulan dikepalanya. Beberapa hari setelah kejadian itu, Angkasa pergi di bawa keluarga ibunya ke Bandung. Gue nggak tahu lagi harus gimana saat itu. Gue nggak bisa tolong siapapun disana. Di depan mata gue, gue lihat semuanya yang terjadi."

"Tar, emangnya apa yang bisa anak 6 tahun lakuin? Lo udah hebat, Tar! Lo benar-benar anak yang hebat bisa bertahan. Gue nggak tahu cerita ini. Nggak apa-apa, Mentari. Semuanya udah terjadi, semuanya hanya tinggal kenangan aja. Lo nggak harus merasa bersalah, lo cuma anak-anak saat itu." Afika menggenggam tangan Mentari.

"Tapi ini salah gue! Kalau saja gue nggak ajak dia ke kamar waktu itu, andai saja nurut sama kata ibunya untuk tetap di dalam kamar, andai saja gue nggak jatuh saat lari dari ayahnya, semuanya nggak akan terjadi kayak gini. Semuanya nggak akan buat dia sakit kayak gini. Ini salah gue, Fik! Ini salah gue!"

"Terus apa hubungannya sama Langit?"

"Dua tahun setelah itu, ada keluarga lain yang datang. Keluarga Angkasa datang dari Bandung untuk tinggal di dekat rumah gue. Mereka bangun usaha disana dan hidup dengan baik. Gue kira gue bisa minta maaf atau deket lagi sama dia. Tapi, saat gue sebut nama dia. Dia justru tanya nama gue siapa. Dia tanya gue anak mana, tinggal dimana. Dia lupa semuanya, Fik. Termasuk kedua orangtuanya yang meninggal. Dia lupa kejadian itu. Lo tahu siapa dia? Dia Langit, Fik. Dia Langit. Abah sama ibunya itu kakek neneknya. Gue bisa bilang itu sama Langit. Gue nggak bisa beritahu dia keadaan sebenarnya. Semuanya tutup mulut atas kejadian apa yang nimpa Langit. Gue cuma berharap dia ingat perlahan-lahan sama gue. Gue pernah ajak dia ke rumahnya lagi, tapi dia sama sekali nggak ingat apapun. Gue kira dia bakal ingat, tapi nggak Fik. Dia nggak ingat. Langit sedang menjalani perawatan setelah operasi di kepalanya. Beberapa kali dia bisa jatuh sakit. Tolong, jangan bicarain apapun sama Langit apalagi tentang obatnya. Dia hanya tahu bahwa dia sakit biasa. Tolong, ya Fik." Pinta Mentari pada Afika yang sangat terkejut.

"Jadi lo minta bantuan gue buat Langit jauhin lo karena ini?"

"Gue nggak mau Langit suka sama orang kayak gue. Gue hanya bisa jadi temen atau sahabatnya aja. Apa lo bisa bantu gue, Fik?"

Suara gitar mengalun sangat indah, Langit tersenyum dan bernyanyi sebuah lagu meski suaranya biasa saja. Dia terus menatap Mentari tanpa mengalihkan pandangannya ke arah lainnya.

"Hah... Tapi Tar? Apa lo suka sama Langit?" Tanya Afika.

"Hmm... Iya! Gue sama suka sama dia, tapi rasa suka aja nggak cukup. Gue mau dia bahagia sama orang lain. Gue mau dia nggak ingat masa lalunya. Gue mau dia terus berjalan ke depan. Gue nggak mau dia keinget hal-hal yang menakutkan itu lagi. Gue mau dia tersenyum kayak gini lagi. Meski bukan gue, gue bakalan ikut bahagia." Mentari mencoba tersenyum.

Dia memang menyukai Langit walau perasaan itu selalu ditolaknya selama ini. Dia memang menyukai laki-laki itu. Dia memang menyukainya. Mentari menepuk dadanya berulang kali. Dia merasakan sesak yang tidak bisa tertahankan.

"Gue bantuin, ya?" Afika menggenggam erat tangan Mentari.

"Makasih, Fik."

Karena cinta saja tidak cukup membuat seseorang bahagia. 

🌞🌞🌞

Salam ThunderCalp!🤗

Jangan lupa like, komen, dan share!

See you...

Toko Kaca ( END )Where stories live. Discover now