TWENTY

11.3K 496 3
                                    

Sepanjang bekerja, pikiran Nina tidak fokus. Berulang kali dia melakukan kesalahan mencatat menu dan menghidangkan makanan. Tugas yang tiba-tiba beralih dan kondisi tubuhnya yang tidak baik membuat kepala pusing. Istri bos terus memarahinya hingga membuat kepalanya semakin berdentum. Puncaknya saat Nina salah membuang sampah dengan makanan. Istri bos menjadi murka dan memarahi Nina di depan semua pelanggan dan pegawai lainnya.

"Kamu tu kerja pakai otak, bisa tidak?! Kamu gak bisa lihat itu makanan bukan sampah! Dasar bodoh!" Makian dari istri bos terdengar hingga kemana-mana. Dalam sekejab Nina dan istri bos pun menjadi pusat perhatian.

"Kamu ya, sudah bodoh, tidak berguna, bikin rugi lagi! Kamu gak bisa keq adikmu yang pintar itu? Otakmu kemana, hah?! Kalau gak dipakai, mati saja kamu!"

Nina tidak berani menjawab dan terus menundukkan wajahnya. Tangannya meremas pinggiran baju dengan erat untuk menahan tangis. Dia terus mengatakan pada dirinya sendiri kalau semua ini akan berakhir. Besok semuanya akan baik-baik saja dan melupakan kejadian malam ini.

"Gimana caramu buat ganti rugi, hah?! Kamu gak lihat pelanggan udah nunggu lama, hah?! Apa kamu mau gaji kamu dipotong, hah?!"

"Saya mohon jangan bu. Saya minta maaf," pinta Nina menundukkan kepalanya berkali-kali.

"Masih berani jawab kamu ya! Dasar anak kurang ajar!"

Ketika istri bos hendak menampar Nina, bos buru-buru datang dan menghalanginya. Beberapa pegawai perempuan lainnya membawa Nina menjauh dan membiarkan istri bos meracau tidak karuan.

"Kamu gak apa-apa kan, Nin? Gimana kalau kamu pulang aja? Mukamu juga pucat," tawar salah satu pegawai.

"Iya, pulang Nin. Biar kami aja gantikan bagianmu. Kalau kamu ngak tahan, berhenti aja. Kamu juga tau mulut istri bos gimana," sahut pegawai lainnya.

"Aku gapapa. Aku masih bisa kerja kok," senyum Nina meyakinkan teman-temannya. Dia masih belum boleh berhenti. Tidak sampai Randy naik tahun ajaran baru.

Saat mereka berusaha meyakinkan Nina, seorang pegawai laki-laki lainnya datang menghampiri mereka. "Nin, bos suruh kamu pulang dulu besok baru datang."

Nina melirik ke arah istri bos yang masih mengamuk dan mengangguk lesu. Dengan langkah gontai, Nina berjalan menuju kamar ganti untuk menukar bajunya dan mengambil tas punggungnya. Ketika Nina ingin pergi, laki-laki yang tadi datang dengan membawa helm.

"Nin, aku antar pulang ya biar kamu lebih cepat istirahatnya," tawarnya.

Nina ingin menolak. Tetapi ketika mengingat kembali pesan Tommy padanya, dia mengangguk sebagai jawaban dan mengambil helm itu. Laki-laki yang dikenalnya sebagai Rudi itu langsung tersenyum sumringah dan mengeluarkan motornya. Begitu Nina telah duduk dibelakang, motor langsung melesat dengan cepat.

Angin yang tiba-tiba menerpa wajahnya membuat Nina menutup matanya. Dia tetap berpegangan pada besi penyangga meskipun Rudi telah mengizinkan untuk memeluknya. Nina tentu saja tidak mau. Rudi salah satu laki-laki yang menyukainya. Nina tidak mau dengan menuruti permintaannya akan membuatnya menjadi berharap.

Saat Nina sudah menyesuaikan matanya dengan kecepatan motor Rudi, dia baru menyadari keadaanya sekitarnya. Jalan yang dilalui Rudi berbeda dengan biasa yang dia lalui. Nina mulai merasakan firasat buruk ketika tidak melihat satupun rumah penduduk dan jalanan yang gelap.

"Rud, ini bukan jalan yang ku bilang tadi loh. Putar balik lagi!" Nina sengaja meninggikan suaranya untuk menggertaknya.

"Jalan sini lebih cepat. Lu tenang aja, Nin. Serahkan semua sama abang."

Bukannya memperlambat laju motor, Rudi semakin menambah kecepatannya dan semakin masuk kedalam pedalaman. Firasat Nina yang semakin menjadi-jadi membuatnya mencubit pinggang Rudi dengan keras. Rudi otomatis mengerem motornya karena rasa sakit yang tidak diduganya. Kesempatan itu diambil Nina untuk turun dan mengembalikan helm.

Only youWhere stories live. Discover now