EIGHTEEN

11.5K 492 4
                                    

Nina mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dan membuka gembok pagar dengan hati-hati. Setelah masuk dalam perkarangan, dia menggembok kembali dan membuka pintu rumah. Sesudah memeriksa semuanya telah terkunci dengan aman, Nina mengistirahatkan badannya sejenak sambil memandang jam. Pukul satu pagi. Jika sedang hujan, maka akan lebih lama atau Nina akan pulang subuh nanti. 

Pulang malam setiap hari, membuat tidurnya berkurang drastis. Belum lagi dengan kelelahan yang bertumpuk, membuat tubuhnya seperti remuk. Bekerja hampir 17 jam sehari benar-benar menguras tenaga Nina. Rasanya ingin sekali dia tertidur tanpa mengganti pakaiannya.

"Baru pulang?"

Nina langsung membuka mata ketika mendengar suara mamanya. Mamanya, Helen, sedang menatapnya dengan raut wajah tidak senang. Nina menelan ludahnya ketika merasakan kemarahan dalam nada suaranya.

"Kamu pulang bisa lebih pelan nutup pintu tidak? Suara kamu bikin mama bangun. Mama jadi pusing. Gimana kalau Randy bangun? Besok dia ada ulangan. Kamu mau besok dia terlambat karena terbangun akibat suaramu?" Helen langsung memarahi Nina dengan suara tertahan. 

"Maaf ma, aku..."

"Sudah, mama ngantuk dengar alasan kamu. Seharusnya kamu gak usah cuci piring dan pulang malam-malam begini. Buat mama marah saja." Setelahnya, Helen kembali masuk ke kamar dan meninggalkan Nina sendirian di ruang tengah.

Selepas kepergian Helen, Nina menutup wajah dan menangis dalam diam. Semua hasil jerih payahnya tidak pernah dianggap oleh ibunya sendiri. Keputusannya untuk berhenti sekolah membuat Helen merasa malu karena omongan dari tetangga. Semenjak saat itu, perlakuan yang diterimanya berbeda dengan Randy. Padahal jika hanya Helen yang bekerja, kebutuhan mereka tidak akan terpenuhi.  

Nina telah memikirkan semua konsekuensi dari pilihannya. Dia hanya bisa berpura-pura tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri agar tidak terjatuh. Setidaknya ketika memikirkan Randy yang masih membutuhkan bantuannya, Nina tidak pernah merasa sedih. Karena, hanya dia satu-satunya alasan untuk bertahan.

***

"Nina, tolong ambil barang di gudang."

"Nina, tolong sapu teras depan."

"Nina, tolong jaga kasir."

Seharian ini, Nina secara tidak langsung dibully oleh pegawai lainnya. Mereka tahu kalau Nina tidak bisa menolak ketika dimintai tolong. Saat Nina sibuk mengerjakan semuanya, mereka malah bersantai-santai dan bersenda gurau.

Nina yang sudah biasa menerima perlakuan seperti itu, mengerjakannya tanpa pamrih dan menikmatinya. Dia butuh kesibukan untuk mengalihkan pikirannya. Sampai pak Suryo datang dan melihat tingkah mereka seperti itu, barulah mereka mendapat teguran keras.

"Kalian bertiga, berani-beraninya menyuruh orang lain menyelesaikan tugas kalian! Mentang-mentang umur Nina lebih muda kalian bisa memperlakukannya seperti pesuruh! Ingat, Nina itu senior kalian! Kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Buktinya sampai sekarang tidak ada satupun dari kalian yang becus memegang mesin kasir! Apa kalian sudah tidak mau bekerja lagi?" 

Wajah pak Suryo merah padam akibat kemarahan yang diubun-ubun. Mereka bertiga hanya bisa menundukkan wajahnya dengan mata berkaca-kaca.

"Saya tidak perlu air mata buaya kalian! Saya tahu kalian sering menyuruh Nina melakukan pekerjaan kalian dan ini sudah keterlaluan! Sekarang, apa kalian masih mau bekerja atau tidak? Jika iya, minta maaf pada Nina dan kerjakan tugas kalian dengan benar!" perintah pak Suryo.

Mereka bertiga langsung meminta maaf kepada Nina dan menyalaminya. Nina merasa tidak enak karena pertama kali mendapat perlakuan seperti itu. Belum lagi, Nina merasa tidak yakin kalau mereka benar-benar menyesal. Lebih baik dibenci dari pada mereka melakukan hal bodoh seperti balas dendam.

Only youWhere stories live. Discover now