44. I Love You, Always

Start from the beginning
                                    

“Eeeeeeh, Kamu mau kemana?”

“Jam delapan Mbak, mau cek kandang.” Anka mencium bibir dan hidungku kemudian memakai jaket dan keluar dari rumah. Pak Purno yang baru mau masuk ke dalam rumah membatalkan niatnya. Dia mengikuti Anka dari belakang, membantunya di kandang seperti biasa.

“Isssssh, Ankaaaaa!”

“Hahahaha. Biarin aja Ta. Aku aja yang habisin sini. Junior kayanya masih laper.”

“Eh? Masih laper? Mau tambah lagi? Aku bikinin lagi kalo mau.”

“Engga. Ini sisanya Anka aja udah cukup.”

“Bentar lagi jadi ayah tetep aja si Anka masih kayak gitu aja, engga berubah. Huh.”

“Emang ada yang berubah dari kita?” Aku tersenyum pada Khata dan menopang daguku diatas meja. Puas sekali melihatnya salah tingkah hahaha.

“Em, em. Nonton yuk?”

“Mau nonton apa?” Aku masih tetap tersenyum ke arahnya. Dia sungguh lucu.

“Ar, em. Itu. Apa namanya?”

“Apa?” Ah, Khata. Muka dia sungguh lucu sekali salah tingkah begini.

“The Imitation Game!”

“Iya, ayok.”

Aku duduk di sampingnya, menonton film di layar TV. Dia sangat serius melihat setiap adegan. Tiba-tiba, muka dia memerah. Adegan mesra di TV membuat mukanya memerah. Hei, ada apa dengan seorang Khata?

Setelah beranjak untuk mengambil air putih dia kemudian duduk kembali. Aku mengambil tangannya kanannya kemudian menaruhnya diatas perutku. Hingga film berakhir. tangannya tidak ia pindahkan sama sekali.

“Mau tidur? Anka udah balik belum sih?”

“Udah tadi. Dia langsung tidur. Ini udah jam berapa.”

“Yaudah, tidur gih. Jangan begadang, nggak baik buat junior.”

“Hmm, Ta?”

“Ya?”

“Kira-kira Anka bakal keberatan nggak kalo aku menamai junior dengan nama kakakku?”

“Hmmm? Sepertinya engga. Jadi kalo laki-laki Kalani? Kalo perempuan Kenda?”

“Iya. Itu rencanaku. Kamu keberatan? Tentu nama belakang dia Metta Sutta.”

“Nggak sama sekali. Dua-duanya nama yang bagus.”

“Bagus deh.”

“Oh ya, Na. Hmmm. Ehmm.”

“Kenapa sih, Ta?”

“Jadi, ehmm. Clement minggu lalu minta aku buat jadi pacarnya. He’s kind of confest kalo dia udah suka dari kecil. Haha.”

“Loh kamu baru tau? Ya Tuhan, Khata! Terus kamu jawab apa? Terus sekarang kamu pacaran sama Clement?”

“Em, yeah, kind of.”

“Lah? Khataa. Yang bener. Pacaran apa engga?”

“Iya. Hehe.” Aku langsung memeluknya erat. Akhirnya setidaknya dia membuka hati untuk seorang lainnya!

“Na, dia mau hmm serius. Tapi…”

Wait. Slow down. Maksud kamu serius, mau nikah? Bukannya Clement a christian? Or Catholic?”

“Engga. Haha. Banyak yang engga tau emang. Meski mama dia keturunan chinese tapi mama dia itu muslim. Makanya dulu kami deket waktu SD ya soalnya agama mesti bareng mulu.”

“Ohhh. Okay. Terus tapi kenapa?”

“Aku belum siap nikaaaaah!”

“Hahaha! DASAR KHATA. Ya bilang lah sana sama Clement.”

“Aku bingung ngomongnya.”

“Tunggu. Kamu hmmm, beneran buka hati buat Clement atau cuma karena hal lain?”

“Hal lain apa?”

“Entah. Something else.”

“Aku gapaham. Cuma, entah aku rasa hmm. If it is Clement yang bakal nemenin aku buat hidup bareng then it’s okay. Dia sahabat yang baik. Dia kenal aku dari lama. Meski entah berapa banyak cewek yang udah pernah dia tidurin. Asalkan selama sama aku dia setia, aku rasa itu udah jadi masa lalunya.”

“Kamu nggak cinta dia?”

Khata menatapku dalam. Ya, aku tau, pertanyaan bodoh. Meski sekali pun, dia tidak pernah bilang. Aku tahu apa yang dia rasakan. Sekali lagi, meski dia tidak mau mengakuinya. Aku tahu dia mencintaiku.

“Nggak usah di jawab, lupakan. Em. Dia perlu tes HIV dulu! Aku nggak rela kamu jadi cewek kesekiaannya dia.”

“Hahaha. Ada-ada aja kamu. He told me, he’s clean.

“Aku nggak percaya. Kalo dia mau serius sama kamu, aku bakal suruh dia tes HIV! Tes semuanya!”

“Wo, wo, wo, slow down. Aku kan udah bilang aku belum siap nikah. Maybe 3 or 4 years from now?”

“Iya, nanti kalo emang dia mau nikahin kamu. Aku tau kamu pasti masih pengen bebas. haha”

“Dia juga bilang gitu haha.”

“Ta?”

“Hmm?” Aku mencium ujung bibirnya. Dia tidak bereaksi sama sekali. Lama, baru aku melepas ciumanku.

“Aku bahagia. Aku tau kamu juga. Tuhan memang selalu berikan kita yang terbaik, aku percaya itu.” Khata hanya tersenyum mendengar perkataanku. Dia kemudian mencium perutku dan membisikkan sesuatu yang tidak dapat aku dengar.

“Aku juga sangat bahagia. Makasih Kirana. Good Night.” Dia kemudian berjalan ke dalam kamarnya.

Aku tahu kini arti bahagia dari mencintai bukanlah keegoisan diri dan keterikatan dalam status belaka. Meski Khata tidak pernah membalas perkataan cintaku, meski dia tidak pernah mengakuinya. Tapi aku tahu cintanya padaku sangat dalam. Dia merelakan aku untuk adiknya. Dia merelakan aku untuk menikah dengan laki-laki. Untuk memiliki seorang anak. Untuk tetap setia pada ajaran kami. Dia memberiku jalan pada kebaikan. Dia mendorongku pada arah yang benar.

Tidak ada perasaan yang lebih sakit ketimbang membiarkan orang yang kita cintai dimiliki oleh orang lain. Tapi, keikhlasan adalah ilmu yang paling susah, beserta ilmu yang paling damai. Dia mengikhlaskanku. Cintanya tak mengekangku dengan nafsu dan keegoisannya. Aku tidak salah jatuh cinta. Dari seluruh orang di dunia, aku jatuh cinta pada orang yang luar bisa hebatnya memberi cinta yang murni. Namun, dalam waktu bersamaan Tuhan sungguh adil. Aku dapat terus bersamanya. Kami terus bersama. Sebentar lagi, aku akan melahirkan seorang Metta Sutta, yang seperempat gennya adalah milik Khata. Tidak ada jalan cinta lain yang ingin aku tempuh. Tidak ada yang ingin aku ulang di masa lalu. Aku tidak mau jatuh cinta pada orang lain. Hidupku sungguh sempurna.
Cerita cintaku sungguh sempurna.
Aku sangat bahagia.

Khata Metta Sutta, aku mencintaimu seperti engkau mencintaiku. Terimakasih karena kamu telah mencintaiku dengan hebatnya dalam diam. I love you, always.

***
END


Terlepas ini cerita nyata atau fiktif, saya sebagai penulis sudah merancang akhir cerita ini sedari awal. Saya ingin menyampaikan pesan pada banyak orang bahwa cinta bukan melulu soal nafsu dan kata-kata romantis. Bukan soal status dan keegoisan belaka. Ada cinta yang semurni diam. Pada mereka yang mencintai dalam diam. Cinta memang hal yang rumit dan membingungkan. Tapi, saya percaya, bahkan dalam diam pun kita bisa mencintai dengan lebih. Seribu bahasa tak cukup untuk bisa mengungkapkan cinta, namun cinta cukup sesederhana diam.
Iya, Khata memang sehebat itu. Tapi Khata bukan dewa, dia manusia biasa. Sama seperti kalian yang mencintai seseorang dengan teramat sangat.

Oh ya, setelah ini masih akan ada dua chapter bonus.

Terima kasih,

Ze

Magic In YouWhere stories live. Discover now