2. Ramen Susu Keju

1.3K 116 6
                                    

KIRANA'S POV

Rambutnya lepek terkena hujan, tidak lagi serapi tadi sore saat aku terakhir melihatnya. Hujan sudah datang ketika dia dan sepedanya menuju kearahku. Entah hanya pikiranku saja atau memang dia terlihat sangat menikmati hujan terkutuk yang belum lama turun ini.

“Kirana, kan? Kok masih di sini?” tanyanya pelan mendekatiku, menghentikan sepeda dan turun dari sadelnya.

“Mobilku baru diderek asuransi.” kujawab dengan singkat, sedikit kaget dia masih ingat aku, apalagi mengingat namaku.

“Hah? Kok bisa sih?” sambil membuka jaket biru baseball yang ia kenakan.

“Ngantuk, terus tiba-tiba aja udah kena tabrak motor.”  jawabku polos saja, bingung kenapa dia membuka jaket padahal hujan masih saja turun.

“Yakin ditabrak bukan nabrak nih?” menyindir aku dengan sedikit senyumnya. “Terus sekarang ngapain berdiri sendiri di sini? Eh, nih pake jaketku, aku pake lengan panjang kok.” ia Sudah menyodorkan jaketnya untuk aku kenakan. Aku menggeleng cepat, tapi dia tetap bersikeras.

“Udah pake aja lah, Kir. pake jaket aja kok, bukan baju astronot.” candanya dibarengi tawa. Matanya menyipit dan alisnya yang panjang sempurna itu terangkat ketika dia tertawa. Setelah selesai tertawa, dia menatapku berbinar dengan senyum di bibirnya. Akhirnya, aku kalah oleh mata berbinar itu, baru tahu aku, mata manusia bisa sebegitu menghasut.

“HP kamu mati ya? Mau pinjem punyaku? Atau kalo mau ikut aja ke rumah, deket kok. Jadi kita bisa neduh nggak kayak showeran begini, gimana?” masih dengan tatapan berbinarnya. Ya sudahlah pikirku, daripada menunggu tidak jelas di sini. Aku mengangguk meng-iyakan ajakannya.
Seakan dia bisa mendengar pikiranku dia langsung berbicara “Bentar aku ambil dulu tasku di sadel, kamu ntar bonceng aku aja. Capek lah kalo kita jalan kaki, nggak apa kan ya, Kir?” tanyanya sambil sibuk melepaskan tasnya.

Tas itu berbentuk postman bag terbuat dari kulit, dia gantungkan disamping persis seperti tukang pos jaman dulu mengingat sepedanya yang juga model vintage itu. Sayang banget kemeja denim, jeans putih dan sepatu converse biru tua itu terlalu modern untuk menjadi seorang pengantar surat betulan.

Untuk kedua kalinya, dia menjawab pertanyaan dalam benakku “Bentar aku naik dulu, habis itu kamu duduk nyamping aja ya. pegangan bajuku, tapi jangan ditarik!” Aku mengikuti persis seperti yang dia instruksikan, duduk menyamping dan memegang bajunya, tidak ditarik.

Sejujurnya memang aku tidak pernah naik sepeda, apalagi dibonceng. Aku diam-diam tersenyum. Dia sangat cerewet ternyata, tidak seperti waktu ia menerima kunjungan tadi. Sepertinya dia hanya jaga image karena dia ketua BEM FEB, mungkin.

Dia mulai mengayuh sepedanya, hujan pun mulai bergerak miring menyerbu kearah kami. Sudah hafal dengan rute sehari-harinya, dia berbelok tanpa mengerem, sepertinya lupa kalau ia sedang membonceng seseorang. Memasuki jalan yang lebih sempit, orang-orang sekitar belum juga berhenti menyapanya. Dari jalan raya tadi memang dia sudah disapa dari tukang parkir sampai bapak-bapak pulang kerja (aku rasa hampir semua orang yang ada dipinggir jalan). Orang ini terkenal sekali sih, masa ia semua orang mengenal dia. Aku yakin bukan karena status ketuanya itu, karena Stevan yang ketua pun tidak begitu kurasa. Stevan yang terkenal juga karena muka dan mobil BMW pinknya itu.

Tidak jauh dari ujung jalan tadi, dia berbelok masuk ke dalam sebuah perumahan. Rumah-rumah bertingkat bergaya modern itu langsung terlihat. Dia masih mengayuh melewati rumah-rumah itu menuju jejeran rumah lebih kecil yang bisa kutebak tipe 36. Dia berbelok menuju rumah ke-3 dari ujung jalan. Ditempat parkirnya terdapat mobil berukuran kecil, seat untuk lima orang, ditutupi dengan plastik cover mobil. Tepat disebelah kiri mobil itu terdapat sebuah besi yang berguna untuk menaruh sepeda disana.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang