31. Doa yang terjawab

415 57 3
                                    

KIRANA'S POV

“Good morning, Einstein”

“Hmmm.”

“Mau ikut aku lari pagi?”

“Mmm tidur.”

“Haahaha oke, tidurlah cantik.”
Keningku kemudian terasa menyentuh sesuatu yang sedikit basah namun lembut. Kemudian benda itu turun ke hidungku. Apa ini? Aku mengusap basah di keningku, masih tetap dengan mata tertutup. Hmm. Tidak tau, masa bodoh, lebih baik aku melanjutkan tidurku. Aku masih sangat mengantuk.
.
.
.
Aku segera bangkit dari tidurku. Hmm. Itu tadi Khata bukan yang berbicara padaku? Aku di rumah Khata. Semalam aku kemari. Ya, ya, aku di rumah Khata dan tadi adalah suara Khata. Aku menoleh mencari Khata.

Hmmm, tidak ada. Kemana dia?

Oh ya, dia lari pagi.

Aku mengusap keningku lagi, sampai ke hidung kali ini. Tadi itu apa ya? Aku berpikir dengan kecepatan kura-kura, masih sangat mengantuk untuk dapat berpikir seperti biasanya. Ku coba untuk meruntut kejadian sejak semalam. Aku kemari karena mencemaskannya, masuk dengan kunci yang dia taruh di bawah paving, kemudian memeluknya hingga dia sedikit tenang, lalu membawanya ke tempat tidur, dan .... Dia menceritakan semuanya semalam. Ya, hampir semua yang belum aku ketahui tentangnya.

Macam-macam perasaan kembali muncul dalam diriku. Khata yang berdiri sangat gagah itu, seorang wanita yang memimpin BEM kampus terkenal, salah seorang mahasiswa dengan curiculum vitae yang sangat cemerlang, adalah manusia biasa, yang bahkan teramat sangat rapuh di dalamnya.

Kedua sisi wajahku menghangat, mengingat semalam kami tidur berpelukan erat. Debaran jantung ini pun tak mau kalah. Entah bagaimana, aku semakin mencintainya. Perasaan ini tumbuh semakin besar. Mengetahui masa lalunya tidak lantas membuatku merasa aneh atau bahkan jijik. Tapi semakin mencintainya.

Aku kembali berbaring, menatap langit-langit rumah Khata, kemudian menutup kelopak mataku. Aku tak mengerti, bagaimana bisa? Apa memang begitu cinta itu?
.
.
.

DIA MENCIUMKU! KHATA MENCIUMKU!

Ya, itu tadi bibirnya. Bibirnya menyentuh keningku kemudian turun ke hidungku.
Mataku terbuka lebar. Kedua sisi wajahku memanas kembali. Mungkin sudah seperti kepiting rebus mukaku ini. Aku mengambil bantal milik Khata kemudian meletakkannya di mukaku. Aku sangat malu. Seakan ada orang saja di sana.
Aku menghirup sekali lagi, ini bau Khata. Bau yang sangat khas milik Khata. Aku hafal dengan baik.

Bagus, rasanya aku sangat ingin meledak sekarang juga. Bibirku tak bisa berhenti tersenyum membayangkan kejadian tadi. Tanganku kembali mengelus-elus hidungku. Aku berguling-guling ke kanan dan ke kiri tempat tidur Khata.

“Aaaaaaaaaa. Khata. Khata. Khata.” Namanya kuulang terus dalam hati. Bantal yang ia gunakan untuk tidur itu aku peluk erat-erat, seakan-akan itu adalah dia.
Jadi gini namanya jatuh cinta? Pantas banyak orang jadi gila. Rasa bahagianya sungguh membuatku ingin meledak.
“Dasar tidak pernah jatuh cinta” Makiku sendiri dalam hati dan menertawakan diri sendiri. Konyol rasanya. Dulu banyak teman-teman sekolahku yang berperilaku sangat konyol menurutku, hanya karena dia sedang mabuk kepayang dengan pacarnya. Tapi kini, aku sendiri mengalaminya, melakukan hal konyol itu. Karena cinta? Karena Khata. Hahaha

BUK.

Aku terjatuh dari tempat tidur, bersamaan dengan bunyi pintu depan rumah ini tertutup. Derap langkah kaki menaiki tangga kemudian terdengar.

“Kamu ngapain?”

Bantal yang masih kupegang erat kemudian segera aku pakai untuk menutupi mukaku. Aku malu. Mukaku pasti masih sangat merah. Kulit yang kudapati dari garis keturunan ibuku ini sangat tidak membantu dalam keadaan seperti ini.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang