33. Tempramen

429 56 2
                                    


“… tak dapat dipungkiri, berat untuk pendidikan Indonesia bisa maju ketika yang dipedulikan sekedar angka. Sama saja seperti kamu makan hanya dengan nasi dan garam setiap hari. Mengenyangkan tapi tubuhmu lama-lama akan kekurangan gizi. Itu yang terjadi memang. Angka selalu menjadi acuan kesuksesan.” Aku mengangguk setuju sambil menatap lekat mata yang berapi-api itu. Semangat yang ia refleksikan dari matanya itu terus meletup-letup ketika berbicara soal Indonesia. Dia dan segala pendapatnya tentang masalah dunia, masalah esensial yang kebanyakan manusia lain enggan untuk memikirkannya.

“Pendidikan Indonesia tidak mengajari untuk menjadi manusia, pendidikan kita mengajari kita untuk menjadi robot. Itu yang paling aku rasakan. Sekolah seperti sebuah pabrik, mengeluarkan produk dengan cetakan yang standar. Produk yang berbeda jauh dari sekolah tersebut secara otomatis akan terbuang, sama seperti proses inspeksi di perusahaan. Hakekat kita sebagai makhluk yang memiliki akal dan moral tak dikembangkan. Potensi kita sebagai anak luluh lantah seiring dengan standarisasi kita untuk dewasa. Jangan harap anak yang memiliki potensi besar dalam seni akan dihargai, bahkan mereka yang student-athlete yang telah mengibarkan sang saka di muka orang bule pun mendapatkan penghargaan yang sangat minim.” Pengalamanku sebagai lulusan termuda tertumpahkan pada ucapanku. Deskriminasi dan banyak perlakuan tak enak yang aku dapatkan dari lingkungan. Sebuah sistem pendidikan yang menggiling habis batinku, dan aku tak sehebat Khata yang menantang untuk merubah sistem-sistem rusak di negeri ini. Aku membiarkan sistem itu melindas diriku dan melontarkan pada kesepian.

Dua orang yang menjadi tujuanku berlari hingga titik ini pun tak sedikit pun menoleh. Buat mereka, menempuh pendidikan di Indonesia itu tak ada untungnya. Sekolah internasional yang semenjak kecil aku masuki itu pun standar terendah menurut mereka. Aku berprestasi sebesar apa pun itu tak ada artinya. Kampus sekelas Harvard, MIT, dan Cambridge adalah universitas yang menurut mereka berdua pantas untuk anak-anaknya. Kak Kalani dan Kak Kendra dulu juga sudah mengikuti bimbingan dan tes yang intensif untuk dapat masuk ke universitas-universitas itu, sama sepertiku empat hingga lima tahun yang lalu. Masa SMA buatku bukan masa nakal, bukan masa yang banyak kenangan. Pagi hingga pagi belajar keras, tak ada waktu untuk istirahat dan bermain. Bukan tak membuahkan hasil aku diterima di Harvard Business School pada akhirnya. Senang, tapi saat aku kembali dan menemukan dua orang tuaku bertengkar hebat hingga salah satu diantaranya harus masuk ke rumah sakit, aku tahu aku tak mampu menjauh dari Bibi. Aku tak mampu sendirian di negeri orang, aku hanya ingin kehangatan sebuah keluarga, dan itu semua hanya aku temukan di bibi dan sang suami.

“Kirana?”

“Ya?”

“Kamu bengong.”

“Oh, ehm sori. Kenapa, Ta?”

“Lagi mikir apa?”

“Nggak kok Ta. Kamu ngomong apa tadi?”

“Aku ngomong panjang lebar kamu nggak dengerin, Na?”

“Hehe enggak.”

“Ah udah ah males ngulanginnya.”

“Jangan ngambek dong. Aku kasi sesuatu mau ngga?”

“Nggaaaaak. Aku mau ngambek sama kamu.”

“Bener nggak mau yupi? Hmm enak lhoooo. Tinggal satu nih.” Aku menjulurkan tanganku yang membawa yupi yang aku beli di minimarket stasiun gambir tadi. Yupi adalah permen yang di sukai Khata sejak kecil, sebelum meninggal orang tuanya sering menyediakan yupi di rumah sebagai reward apa bila Khata bertindak baik. Dan tentu saja taktik membujuk Khata dengan Yupi berhasil. Dengan gaya sok cool dia mengambil yupi yang tersisa dari bungkus itu.

“Oh, aku masih ada dua bungkus lagi ternyata. Wah lumayan.”

“Kamu nyebelin.”

“Memang.”

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang