14. Malam Tadi

548 62 7
                                    

3RD PERSON’S POV

Khata langsung melompat ke belakang begitu tangan Kirana menyentuhnya. Mimik mukanya menggambarkan sebuah ketakutan luar biasa. Mata indah yang sedari tadi sudah sendu itu kini membelak lebar. Pupil hitamnya membesar, tajam menatap Kirana. Pandangan itu mengandung amarah, perih dan kesedihan yang belum pernah Kirana lihat pada siapapun dalam hidupnya.

Tubuh itu kaku, seluruh ototnya menegang dengan jantung yang memompa darah luar biasa kencang. Namun berlawanan sedetik kemudian, kulit mukanya memutih, memucat bersama dengan bibir merahnya. Pikiran Khata berkecamuk hebat, kombinasi petir dan sentuhan telah membuat seluruh sel-selnya mengingat. Setiap inci badan itu kini bergetar.

Dia menaiki tangga dengan nafas berat. Seluruh memori mengambil alih tubuhnya, menyerap seluruh energi yang ada di dalamnya. Hampir saja dia tak mampu berdiri dan berlari ke ruang di mana seluruh baju dia tersimpan. Dia menjatuhkan dirinya di pojok ruangan, tertutupi kemeja yang digantung rendah.

Doa yang selama ini dia hafal dan siapkan untuk menghadapi keadaan seperti sekarang seperti tak mampu dia ucap. Bahkan untuk menguntai ingatan tentang kata per katanya saja terasa sulit.

Suara teriakan mengiris hati terdengar kencang keluar dari tenggorokannya. Akhirnya, memori dia menang. Dia tak mampu melawan kali ini.

Kirana yang mendengar teriakan itu langsung berlari ke tempat asal suara. Ruangan itu gelap, bila saja tidak ada suara teriakan dan tangis kecilnya mungkin Kirana tidak akan tahu di mana Khata berada. Dia masih terdiam, ragu apa yang harus dia lakukan pada momen ini. Pelan, dia melangkahkan kaki mendekat pada sosok lemah di pojok ruangan. Sosok yang biasanya terlihat tegas dan kuat itu terduduk lemah, menyembunyikan wajahnya dibalik tangan dengan kedua kaki dia tekuk. Seketika, seperti menyadari langkah kaki mendekat, Khata melihat ke depan dengan ngeri. Panik menyerangnya, membawa kesadaran dalam tahap semakin dalam ke seluruh kengerian yang di rasa permukaan kulitnya.

“Stop! Om... Jangan...  Aku nggak mau lagi om, sakit. Tolong om, jangan. Sakit om..”

Racauan Khata di tengah tangisnya yang berulang-ulang membuat Kirana terpaku kembali. Kata-kata itu jelas bukan untuknya, tapi mendengarnya sangat menyakiti hati. Dia tidak tahu siapa orang yang di maksud, orang yang membuat Khata yang seperti dewi itu jatuh tak berdaya seperti ini. Bingung dengan apa yang harus dia lakukan, Kirana keluar dari ruangan itu, kembali ke lantai bawah untuk mengambil ponselnya di sofa. Ia segera menelpon satu-satunya orang yang tau benar tentang Khata, si tengil Ara.

Di saat seperti ini, nomor HP Ara malah tidak aktif. Kirana kini semakin bingung apa yang harus ia lakukan. Lima menit, ia terduduk di sofa itu, mencoba membiarkan Khata tenang dengan sendirinya. Bukan dia tidak peduli, tapi benar-benar tidak tahu apa yang harus di lakukan untuk menenangkan teman satu-satunya itu. Air mata bahkan sudah mengering mendengar teriakan-teriakan dari lantai atas itu. Menusuk hati bagaimana setiap kata yang terdengar hanyalah rintih kesakitan dan lemah. Nada dalam suaranya pun begitu terasa getir dan penuh takut.

Kirana tidak kuat lagi, dia benar-benar merasa harus menemukan cara untuk menenangkan jiwa yang tersiksa di sana. Setiba di lantai atas, dia langsung menyambar selimut yang terlipat rapi di atas tempat tidur, membawa bersamanya ke tempat Khata berada.

Dia mencoba mendekat seperlahan mungkin, memantapkan hati untuk tidak takut membuat Khata semakin panik dan menjadi. Satu langkah, dan benar saja, Khata berteriak kencang sekali. Kirana langsung menyelimuti tubuh Khata dengan selimut yang dia bawa dan merangkulkan tangan mendekapnya dekat pada dirinya. Khata meronta hebat, menendang dan memukul dengan seluruh sisa energi. Kirana terpental, punggungnya bertubruk keras dengan panel kayu di dinding seberang Khata. Nyeri di perutnya langung terasa, Khata menendangnya cukup keras.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang