26. Tell Me Everything

465 60 2
                                    

KIRANA'S POV

Bersama sinar mentari yang menerangi ruangan, secara perlahan bayang Khata jelas terbentuk. Jantungku berdetak sangat kencang. Wajah Khata berada dekat sekali dengan wajahku. Tangannya berujung di punggungku, mengelus pelan. Bila aku tidak merasakan hembusan nafasnya, mungkin aku akan langsung mengira aku masih bermimpi.

Lengan kanannya itu membawaku berdekatan dengan tubuhnya. Dia memelukku erat. Wajah kami hanya berjarak sejengkal. Matanya mengawasiku. Mata sendu yang sangat aku suka itu menelusuri parasku dari titik ke titik. Bibirnya tersenyum halus, seperti sebuah ketenangan hinggap dalam dirinya.

“Hai Einstein.” Suaranya merdu yang selalu membuatku candu. Suara yang sangat khas dan selalu terngiang di kepalaku yang beberapa hari kebelakang membuatku rindu.

“Hmm. Hai.” Suaraku masih parau, masih terlalu dini untuk melakukan aktifitas apa pun termasuk bicara.

“Nyenyak tidurnya?” Aku tidak berbicara menanggapinya, hanya mengangguk mengiyakan. Aku terlalu malas untuk berbicara, ditambah dengan suaraku yang masih parau.

Ada angin pelan yang berhembus dari jendela kamar Khata yang terbuka. Membawa semilir angin itu menjadi penghantar nyaman di tempatku kini. Pelukannya dan nyaman ini. Jantungku berdetak sangat kencang. Dia adalah orang yang kucinta. Dan wajah dia hanya berjarak sejengkal dari mukaku. Ada rasa yang meluap-luap dalam hatiku. Rasa itu hangat, sehangat kenyamanan cream soup di hari hujan saat aku sakit. Tidak, hal ini lebih dari itu. Kenyamanan seperti aku kembali ke rumah. Dia seperti rumah tempat aku untuk mencari perlindungan dan kenyamanan.

Bibirnya bergerak perlahan, berkali-kali seperti mencari getar pita suara dalam lehernya. Kata halus itu keluar setelah sekian detik ia menyusun huruf dalam pikirnya.

I’m so lucky to meet you. You are my dream since I was a kid. To find a comfort when someone touch me. Maybe, it is nothing for someone else. But it is something imposible for me. I never say thank you back then when you hug me that night. (aku beruntung banget ketemu sama kamu. Kamu itu mimpiku sejak aku masih kecil. Untuk menemukan kenyamanan ketika seseorang menyentuhku. Mungkin, itu bukan apa-apa buat orang lain. Tapi itu nggak mungkin bagiku. Aku nggak pernah mengucapkan terima kasih saat itu ketika kamu memelukku malam itu)” Mata Khata berkaca-kaca hampir meluapkan emosi nya di titik air mata itu.

Setelah beberapa saat dia mengambil jeda untuk menghentikan air mata yang akan jatuh, ia kembali melanjutkan kata-katanya. “You are someone that I’ve been waiting for. Okay, that’s sound so romantic, but yeah that’s the truth.” Khata kemudian tertawa garing. tangannya yang bebas mengelus pelan pipiku. Baku-baku tangan itu memerahkan pipiku secara otomatis. Dan jantungku? Jangan ditanya. Seperti akan meledak. Perkataan dia sungguh membuat diriku melayang. Tubuhnya kemudian dia rekatkan padaku. Dia memelukku erat. Aku sungguh berharap dia tidak dapat mendengarkan detak jantungku yang kelewat bergetar karena kelakuan dia ini. Berulang kali ritme jantung ini semakin tinggi karena sentuhannya kembali yang ia letakkan di tubuhku.

“Ta?”

“Ya Einstein?”

“Cerita!”

“Cerita apa maksudnya?”

“Kamu kasi aku puzzle yang sungguh membingunkan, Ta. Kamu nggak pernah cerita kenapa kamu takut disentuh, kenapa selalu gemetar ketika kulitmu ini tersentuh,” Aku mengelus kulit lembut lengannya.

“Aku coba mikirin satu-satu penyebab, mikirin kenapa kamu sampai segitunya berlaku seperti itu malam itu, kamu kayak bukan Khata yang aku tau.” Aku menatap matanya dalam, tatapanku itu segera ia alihkan.

“Ceritain Khata.”

“I can’t”

“Kenapa?”

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang