27. He'll Be Okay

453 55 0
                                    

KHATA'S POV

Aku menggenggam erat tangan Kirana ketika berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar Anka. Sebisa mungkin, aku ingin membuat Kirana nyaman sebelum bertemu Anka kembali. Walau mungkin sebenarnya, akulah yang memerlukan ketenangan yang dia miliki kini. Muka dia sungguh tenang, tidak ada emosi atau pun sedikit kecemasan dan ketakutan tersirat di wajahnya. Justru akulah yang terlewat khawatir. Aku sudah membayangkan kejadian terburuk yang akan terjadi nanti. Membayangkan bagaimana kulit halus Kirana terluka, bagaimana Anka akan menyerang. Tidak akan aku lepas genggaman ini selama di kamar Anka.

Anka sedang tertidur pulas. Aku melihat jam tanganku, pukul dua siang, masih waktu jam tidur siang dia. Setengah jam lagi dia akan terbangun, pukul setengah tiga. Rutinitas sedari dia kecil ini belum berubah hingga sekarang. Harus tidur siang satu jam, pukul setengah dua hingga setengah tiga. Tidur siang bagi dia sangat penting, ini lah waktu dia untuk mengisi ulang tenaga yang ia pakai. Hal ini sempat membuat aku, kakek dan nenek kesulitan mendaftarkan dia sekolah dahulu. Tidak banyak sekolah yang mau menyesuaikan kebutuhan anak autis. Dahulu, ketika dia SMP, sekolah Negeri paling favorit di Surabaya menerima kebutuhan tidur siang dia ini. Namun, ketika ia beranjak SMA, sekolah-sekolah negeri kesulitan untuk menerima kebutuhan ini. Akhirnya, kami terpaksa mendaftarkan Anka di sekolah swasta Kristen. Memang banyak pertimbangan yang diambil aku, kakek dan nenek sebelum mendaftarkannya di sekolah ini. Sekolah ini salah satu sekolah swasta favorit memang. Masuk ke sekolah ini harus melalui tes terlebih dahulu. Setelah itu, hasil dari tes di urutkan berdasarkan skor terakhir, hanya anak-anak yang masuk ke dalam kuota sekolah saja yang diterima. Anka masuk di sepuluh besar, dan dengan pertimbangan nilai tersebut, sekolah mau memaklumi kebutuhan dan beberapa perbedaan Anka dibandingkan anak lain.
Sekolah ini memiliki disiplin yang tinggi. Pada dasarnya, seluruh kriteria sekolah ini sangat cocok dengan rutinitas dan kepribadian Anka. Namun, secara jelas, keberatan yang sangat sulit di kompromi adalah perihal agama. Dahulu, kami sangat menghawatirkan bagaimana Anka bisa sekolah di sekolah Kristen, namun ternyata dari pihak sekolah menyediakan guru agama Islam untuk Anka dan beberapa anak lain.

Sejak bersekolah di sana, Anka kini menjadi lebih terbuka. Tidak ada lagi yang mengejek Anka karena perbedaannya. Baik dari pihak sekolah mau pun teman-teman Anka, mengerti bahwa dia memang berbeda pada beberapa aspek. Namun perbedaan tersebut tak lantas membuat teman-teman Anka menjauh. Kemampuan Anka yang luar biasa di berbagai bidang akademis membuat banyak murid meminta Anka mengajarinya. Mereka jauh lebih mengagumi Anka dibandingkan teman-teman Anka pada saat SMP dulu. Bukan hanya berhenti di situ, mereka juga benar-benar bisa memaklumi kekurangannya dan menjadikannya teman. Bahkan ada juga cewek yang suka sama Anka. Aku hanya bisa tersenyum untuk urusan terakhir. Diam-diam dia memang punya karisma tersendiri.
Setelah kakek dan nenek pergi, kami berdua duduk di sofa dekat tempat tidur penunggu pasien. Aku mengeluarkan satu set kartu untuk kami mainkan. Tanpa kuduga, kemampuan Kirana bermain kartu cukup hebat. Aku ia kalahkan dalam sembilan kali permainan. Sial, aku tidak sepayah ini biasanya ketika bermain bersama teman-teman. Dia hanya terus menertawaiku yang mengeluh karena kekalahanku. Anka terbangun ketika aku berteriak karena berhasil menang. Kemenangan yang dihasilkan dari keberuntungan.

“Mbak Taaaaa” Suara manja Anka memanggilku pelan.

“Iya Ka?”

“Sinii” Bersama panggilan itu, aku menghampiri tempat tidurnya.

“Kenapa Ka?” Anka kemudian menarik bajuku dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.

“Mau pipis.”

“Eh? Yaudah ayo aku anterin.”  Ada yang janggal dengan cara Anka minta aku menemaninya untuk ke toilet. Biasanya dia langsung teriak begitu saja. Tak ada permintaan untuk mendekatinya terlebih dahulu.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang